PART 25
Through the night that was endlessly long and thick and dark
I know your wish has silently disappeared
I'll wait for a long time, I'll definitely find you
Even if you are so far that I can’t see you
Let’s go, to the place at the tip of dawn
(Dear Name - IU)
***
ABEL
Buat salah satu atau dua kali mungkin masih bisa dibilang wajar tapi kalau udah yang ketiga kali apalagi sampai berkali-kali itu artinya kurang ajar. Dan dua kata itu tadi mungkin pantes untuk mendeskripsikan diri gue sekarang. Walaupun di kesalahan ketiga ini gue benar-benar gak tahu apa-apa. Gue gak tahu kalau atasan gue sendiri lagi-lagi yang jadi penyebab gue nyecewain Gia. Tapi bagaimanapun gue tetap salah, salah karena memaksa Gia datang ke tempat audisi ini bukan tempat yang seharusnya.
Ketika untuk terakhir kali dia menatap gue dengan sorot mata penuh kekecewaan gue tahu kesalahan yang satu ini gak bakal bisa dimaafin. Baik oleh Gia ataupun diri gue sendiri. Kalau sejak awal gue tahu Pak Rustam yang jadi partner audisi ini dari awal gak mungkin gue kasih brosur itu ke Nara supaya dia kasih ke Gia. Gue gak mau lagi memaksa dia menerima sesuatu yang memang dia benci dari awal. Gue gak berhak.
Satu minggu berlalu dan gue bener-bener lost contact dengan Gia. Semua pesan dan oanggilan gue gak pernah dia angkat sekalipun. Gimana mau diangkat orang nomor gue diblokir sama Gia. Di sekolah pun dia selalu menghindari gue. Walaupun gue dan Nara yang mendorong Gia buat ninggalin olimpiade itu, jauh di hati kecil gue pun takut kalau Gia bakalan dihukum sama sekolah.
Namun, ada yang beda dari istirahat kali ini. Suasana kantin begitu ramai saat tanpa sengaja gue denger kalau ada anak kelas MIPA 4 yang diskors oleh Bu Asti. Di pikiran gue ada ada satu nama saat itu.
"Cewek yang ikutan olimpiade ituloh, kata temen gue dia kabur gitu,"
"Hah kabur? Kok bisa cewek kayak gitu dipilih jadi perwakilan?"
Kalau aja mereka bukan perempuan udah pasti gue tonjok saat ini juga. Tapi sebelum itu harusnya gue sadar diri kalau guelah penyebab Gia mendapat olokan itu. Dan apalagi tadi? Diskrors?
Gak, gue gak bisa biarin ini terjadi. Gue gak bisa diem aja. Gue mesti samperin Gia. Dia gak boleh nanggung kesalahan itu sendiri, gue juga harus mendapat hukuman serupa karena gue adalah dalangnya. Waktu gue mau berlari ke arah kelasnya, tiba-tiba ada orang lain yang lebih dulu menghampiri gue dengan wajah datarnya.
Enggak, bukan datar. Ada emosi di sana. Emosi yang hampir gak pernah Sarga tunjukkan kepada orang-orang dekatnya. Iya, gue melihat amarah di matanya. Sarga emang dingin, dia gak punya ekspresi tapi sejauh yang gue tahu dia bukan tipe pemarah. Kalaupun sampai dia marah seperti yang terlihat sekarang, artinya gue bener-bener udah keterlaluan.
"Ga.." gue udah bersiap barangkali dia mukul gue di depan orang banyak, gue ikhlas. Mungkin pukulan itu bisa bikin gue sadar. Sayangnya gue lupa kalau Sarga bukan penyuka kekerasan. Dia hanya menatap gue tajam dan bilang, "Gue mau ngomong!"