Di mana ada niat, di situ ada jalan. Pada awal perjumpaan kita di buku ini, saya ingin berbicara tentang niat dan keyakinan karena setiap amal perbuatan bergantung pada niat. Baru niat berbuat baik saja, Allah sudah mencatatkan satu pahala kebaikan untuk manusia. Artinya, niat merupakan sesuatu yang penting dan menjadi penyebab diterima atau tidaknya ibadah.
• Melaksanakan shalat Tahajud setiap malam dengan niat untuk pamer kepada orangtua dan keluarga.
• Melaksanakan shalat Dhuha agar otot terbentuk berkat gerakan-gerakan shalat.
• Ikut pengajian agar dikenal sebagai orang saleh.
• Melaksanakan puasa Senin-Kamis agar tubuh menjadi langsing.
• Bersedekah agar mendapatkan citra positif di mata orang-orang.
• Membangun masjid agar disebut dermawan.
• Berhaji agar tidak dipanggil tukang bubur, eh, maksud saya agar dipanggil Pak Haji atau Bu Haji. Hehehe.
Kira-kira pahala ibadah tersebut sempurna, tidak? Silakan Anda berpendapat sendiri-sendiri. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa segala sesuatu bergantung pada niat. Jadi, mari samasama meluruskan niat sebelum Anda membaca buku ini lebih jauh. Mudah-mudahan pengetahuan yang didapat dari buku ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat dan mampu membawa diri Anda pada kesuksesan.
Lantas, bagaimana dengan keyakinan? Anda pasti sudah mengenal konsep Law of Attraction (LoA), yaitu alam akan merespons diri kita. Hal ini berhubungan juga dengan pengertian bahwa Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Jika kita yakin dan berpikir sesuatu akan terjadi, itulah yang akan terjadi. Alam akan membantu kita untuk mewujudkannya. Apa syaratnya? Keyakinan!
Saya punya sebuah cerita lucu. Suatu hari teman saya kemasukan jin atau yang lebih kita kenal dengan istilah kesurupan. Sontak, saya dan teman-teman lain kaget. Masalahnya adalah tak seorang pun berpengalaman dengan keadaan seperti itu. Dengan sedikit pengetahuan tentang hal ini, akhirnya kami membaca Ayat Kursi berulang-ulang.
Teman saya itu justru semakin kurang ajar, bahkan menertawakan kami. Kami sungguh bingung dibuatnya. Tapi kami tetap tidak mau kalah, hehehe. Kami lantas membaca Surah Al-Jinn. Tawa teman saya yang kerasukan semakin lebar. Dia malah ikut membaca ayat-ayat Al-Quran bersama kami. Ayaaya wae.
Kami semakin bingung. Niat baca Al-Quran agar jin keluar dari tubuh teman saya, eh, dia malah semangat ikutan ngaji. Akhirnya kami menyerah. Jin puas menertawakan kami yang kelelahan. Lalu dia berkata, “Kalian baca seluruh isi Al-Quran pun saya tidak akan kepanasan dan keluar dari tubuh ini. Saya juga bisa kalau cuma baca (Al-Quran).”
Mendengar ucapannya, saya berpikir, “Lho, apa yang salah dengan bacaan Al-Quran kami? Wudhu sudah, baca berbagai surah juga sudah.” Tiba-tiba, entah dapat ide dari mana, saya baru sadar kalau yang dari tadi kami lakukan hanya “membaca”, tanpa ada keyakinan dalam diri bahwa Allah akan mengeluarkan jin tersebut dari tubuh teman saya. Dengan kata lain, ketika membaca surah-surah Al-Quran itu kami ragu-ragu. Bacaan saya kosong, tanpa keyakinan kepada-Nya. Kemudian saya mencoba membaca surah-surah Al-Quran lagi dan ... subhanallah, baru baca ta‘awwudz saja dia sudah “kepanasan”, minta ampun, dan menyerah. Teman saya pun tersadar dan kembali berperilaku normal. Alhamdulillah.
Anda boleh percaya dan boleh juga tidak pada pengalaman yang baru saja saya ceritakan. Akan tetapi, mari kita ambil hikmahnya. Pengalaman ini membuat saya menyadari betapa pentingnya sebuah keyakinan. Pantas saja Rukun Islam yang pertama adalah syahadat yang esensinya meyakini keberadaan Allah, juga Nabi Muhammad Saw. dan tentunya ajaran Islam.
Pertanyaannya, pernahkah kita mengucapkan syahadat dengan sepenuh hati sampai dada kita berguncang karena keyakinan yang menghunjam? Kalau belum, saya rasa sebaiknya kita kembali bersyahadat. Bisa jadi, selama ini kita bersyahadat hanya ketika shalat, itu pun tanpa keyakinan. Jangan sampai kita tidak mengerti untuk apa kita mengakui Allah dan Rasul-Nya. Ibarat burung beo yang bisa bicara tapi tidak paham apa yang diucapkannya, atau anak kecil yang membaca berita di koran tapi tidak paham maksud bacaannya.
Kalau selama ini kita beribadah—shalat, mengaji, puasa, zakat, bahkan haji atau umrah—tetapi tanpa disertai keyakinan, lalu untuk siapa ibadah kita?
• Shalat tanpa keyakinan, sekadar melaksanakan kewajiban dan sebatas gerakan.
• Puasa tanpa keyakinan, sekadar melaksanakan kewajiban dan sebatas menahan lapar.