Penyebab Kegagalan
Pertanyaan mengenai kegagalan sering diajukan oleh peserta dalam seminar saya. Apa pun tema seminarnya, pasti ada saja yang bertanya tentang kegagalan. Bagaimana kalau saya gagal meraih cita-cita? Apa yang harus saya lakukan kalau gagal? Saya sudah coba berkali-kali tetapi tetap gagal. Apa saya tidak cocok dengan bidang ini? Meskipun biasanya orang yang bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu sudah tahu jawabannya, hehehe. Mungkin mereka masih penasaran karena ingin menjadi orang sukses.
Pertama-tama, kita harus tahu penyebab kegagalan.
1. Biasanya, orang yang gagal adalah orang yang tidak memiliki tujuan atau goal yang tepat atau bahkan tidak tahu apa yang diinginkan dalam hidup. Mereka cuma mengikuti tren yang sedang marak di masyarakat. Kalau ditanya, mengapa kamu ikut-ikutan seperti ini? Jawabannya, “Nggak tahu. Gue sih, ikut-ikutan aja, soalnya lagi musim.”
2. Tidakpernahmencatattujuandikertas, goal visualization, atau sarana apa pun, hanya mengangan-angankan di kepala sehingga tujuannya berubah-ubah sesuai dengan mood.
3. Tidak ingin bertanggung jawab atas tindakannya, selalu mencari alasan atau excuse atas kegagalannya. Inilah yang paling banyak terjadi, selalu mencari alasan atas kegagalan, bukannya berkaca apa yang masih kurang dan harus diperbaiki sehingga kreativitasnya tidak berkembang.
4. Tidak melakukan tindakan yang efektif. Banyak rencana tapi tidak ada tindakan nyata alias no action talk only (NATO) atau omdo alias omong doang.
5. Membatasi diri dengan menganggap tak berhak sukses karena terlalu tua, tak punya modal, bawaan keluarga, dan tempat tak memungkinkan. Itu alasan klasik. Padahal orang-orang sukses kebanyakan memulai jalannya dalam keadaan yang sulit.
6. Malas, tidak mau kerja keras, selalu berusaha menggunakan cara paling mudah, cepat, dan hemat waktu, tapi ingin mendapatkan uang paling banyak. Orang yang seperti ini benar-benar TER-LA-LU! Hehehe.
7. Berteman dengan orang-orang yang salah, hidup di lingkungan orang-orang gagal. Ingat, bila kita dekat dengan tukang parfum, badan kita akan harum; bergaul dengan orang-orang sukses, kita akan terbawa sukses.
8. Tidak bisa mengatur waktu alias salah prioritas.
9. Salah memakai strategi atau cara bertindak, tidak mempunyai strategi yang baik. Berusaha keras, hasil nol. Cuma memakai otot tapi tidak memakai otak. Padahal saat ini sudah bukan zaman hanya cukup kerja keras tapi juga harus kerja cerdas.
10. Kurang mengembangkan diri, jarang membaca dan mendengar kaset, enggan mengikuti seminar, malas mengumpulkan informasi baru, merasa diri sudah bisa, dan lain-lain.
11. Tidak ada kesungguhan atau komitmen untuk sukses, mudah putus asa, atau menyerah pada waktu menghadapi rintangan.
12. Kurang menggunakan “Kekuatan Pikiran Bawah Sadar“.
13. Tidak mempunyai hubungan antarmanusia yang baik. Padahal silaturahim mendekatkan rezeki. Rezeki bisa berarti harta, kesuksesan, keberhasilan, dan kebahagiaan.
14. Sombong dan menganggap diri paling hebat. Tidak ada orang sombong yang sukses. Kalau ada orang sukses masih sombong, artinya dia gagal. Gagal menaklukkan kesombongan dalam dirinya sendiri.
Sekarang perhatikan diri kita sendiri setelah membaca beberapa poin tadi. Adakah poin itu dalam diri kita? Kalau ada, wajar kita masih belum sukses. Istighfar dulu, yuk. Kemudian, berniat mengubah diri menjadi lebih baik.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.
(QS Al-Ra‘d [13]: 11)
Allah tidak akan mengubah keadaan Anda, bila Anda tidak memiliki keinginan atau kesungguhan untuk mengubah diri. Tidak mungkin Allah tidak sesuai dengan firman-Nya, bukan? So, bagi Anda yang pernah menyalahkan Tuhan atas nasib Anda, sebetulnya siapa yang salah? Hehehe. Jadi, mulailah dari diri kita sendiri. Setuju?
Belum Sukses Bukan Berarti Gagal
Bisa Anda perhatikan, dari tadi saya menggunakan kata belum sukses, bukan tidak sukses. Apa artinya? Artinya, saya yakin bahwa Anda akan sukses. Karena belum sukses bukanlah sebuah kegagalan. Bagi saya sendiri, tidak ada kegagalan dalam meraih kesuksesan. Yang ada adalah menyerah.
Ketika Anda merasa gagal, contohnya tidak lulus perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) atau tidak masuk universitas favorit, sesungguhnya Anda tidak gagal karena itu bukanlah tujuan Anda. Tujuan Anda adalah kesuksesan.
Bukankah banyak jalan menuju Roma? Anda masih bisa melakukan hal-hal lain untuk meraih cita-cita dan kesuksesan Anda. Misalnya, Anda bisa mengulang lagi tahun depan, memilih universitas lain, atau mencari jalan berbeda sehingga kesuksesan yang menjadi tujuan Anda tetap bisa teraih.
Kebanyakan orang menyerah karena menganggap jalan menuju sukses sebagai target kesuksesan. Gagal masuk kampus favorit dibilang gagal, tidak diterima kerja dibilang gagal, kalah audisi juga disebut gagal. Akhirnya menyerah dan berhenti berjuang. Terkadang kita terlalu memaksakan nafsu ingin kaya, ingin dikenal, ingin hidup mudah, tetapi tidak mau menikmati proses. Semua hal butuh proses. Nikmati proses itu dengan terus berusaha dan memperbaiki diri. Jangan pernah menyerah hanyakarena kitatidakberhasilmeraih“jalan”kesuksesanyang kita inginkan.
Mari, kita ingat-ingat lagi cerita Thomas Alva Edison saat ia berusaha menemukan lampu pijar. Berkali-kali ia gagal. Namun, itu bukanlah kegagalan baginya. Proses itu adalah sebuah pelajaran berharga yang membuatnya menemukan lampu pijar. Ketika berhasil, Edison ditanya, “Bagaimana perasaan Anda sukses menemukan lampu pijar, setelah ratusan kali mengalami kegagalan?”
Edison menjawab, “Saya tidak pernah gagal sekali pun. Saya sukses melakukan 1.000 kali percobaan yang membuat lampu tidak menyala sampai saya menemukan cara untuk membuatnya menyala.”
Bayangkan, apa yang terjadi bila pada percobaan ke-999 Edison menyerah? Apa mungkin Edison akan kita kenal sebagai penemu bohlam? Bisa jadi tidak. Dia tidak pernah merasa gagal. Itulah pelajaran berharga dari Thomas Alva Edison untuk kita.
Kebanyakan orang berhenti pada saat akan sukses. Jangan sampai kita termasuk orang-orang seperti itu, orang-orang yang akhirnya menyia-nyiakan perjuangan dan pengorbanannya sendiri.
Cita-Cita Tidak Tercapai Bukan Berarti Gagal
Apa cita-cita Anda sewaktu kecil? Jawabannya pasti tidak jauh dari polisi, pilot, dokter. Hehehe.
Begitu juga dengan saya, sejak SD saya ingin menjadi dokter. Berawal ketika sakit demam dan berobat ke dokter, saya harus mengantre di antara berpuluh-puluh pasien. Selesai diperiksa, dokter diberi uang sekitar Rp50 ribu. Wow, berapa penghasilan dokter bila sekali memeriksa pasien dibayar Rp50 ribu dan sekali praktik bisa sampai 50 orang pasien, sehari 2 kali praktik? Belum lagi siangnya bekerja di rumah sakit. Hehehe, sejak SD saya sudah memikirkan uang.
Sejak SMP sampai SMA, selain sekolah, saya sibuk mengisi training dan seminar. Meskipun demikian, cita-cita saya tetap bulat, ingin menjadi dokter. Belum lagi, ketika SMP, saya mempunyai banyak teman anak dokter. Dokter terkesan beruang banyak, setiap hari dijemput mobil, rumahnya mewah. Pikiran saya waktu itu adalah saya harus sukses karena diri saya sendiri, masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan setelah lulus, mengambil spesialis secepatnya sehingga saya bisa mengganti uang orangtua yang terpakai untuk keperluan sekolah saya. Saya terus belajar dengan giat. Menjadi Ketua OSIS, Ketua Shot165, dan Duta HIV/AIDS Jawa Barat tidak merusak nilai pelajaran saya di kelas. Alhamdulillah, ranking saya di kelas tetap stabil, bersaing di urutan 1 dan 2.
Waktu SMA saya tidak aktif di organisasi. Rasanya sudah kenyang sekali berorganisasi waktu SMP. Saya bercita-cita masuk IPA karena ingin masuk kedokteran. Pada semester pertama, saya berhasil mendapatkan ranking kedua (dari belakang, hehehe). Nilai saya hancur. Entah mengapa saya merasa tidak bisa mengerjakan pelajaran eksak. Semester kedua pun sama, hanya bertambah sedikit. Saya mulai cemas. Saat pembagian kelas, ternyata saya tidak bisa masuk IPA, kecuali ada yang mengundurkan diri atau pindah sekolah. Dan tidak ada yang mengundurkan diri. Saya makin galau. Bagaimana mau jadi dokter, kalau masuk jurusan IPA saja tidak bisa.
Eits, dunia belum berakhir. Saya yakin saya mampu dan bisa masuk IPA. Saya harus mendatangi kepala sekolah dan meyakinkannya bahwa saya pantas masuk IPA. Hohoho.
Setelah menemukan alamat rumahnya, saya berangkat dengan persenjataan lengkap—rapor SMP (untuk menunjukkan ranking ketika SMP), rapor SMA dengan nilai doremi, foto dan video saat saya membawakan seminar, dan buah-buahan yang saya beli dari hasil tabungan di celengan, hehehe. Sesampai di rumahnya, saya langsung menyampaikan maksud kedatangan saya bukan untuk nyogok karena saya tidak punya uang dan saya yakin beliau adalah kepala sekolah yang jujur. Saya hanya ingin meyakinkan bahwa saya pantas masuk IPA.
Saya diberi ujian tambahan secara lisan. Alhamdulillah, beliau mengizinkan saya masuk IPA asal semester depan, minimal, masuk ranking 20 besar. Setelah itu, saya menjalani kehidupan sebagai anak IPA. Ranking saya pun mulai stabil di kelas 2 dan 3. Stabil di angka 16, 17, 18. Hehehe.
Nilai eksak saya tetap hancur. Saya semakin tidak menguasai Matematika, Biologi, Fisika, apalagi Kimia. Padahal waktu SMP saya tidak seperti ini. Setidaknya saya menepati janji kepada kepala sekolah untuk bisa masuk 20 besar. Alhamdulillah.
Cerita pun berlanjut. Sebelum Ujian Nasional, Universitas Indonesia (UI) mengadakan try out yang diikuti siswa-siswi SMA se-Jawa Barat. Tentu saja saya tidak mau absen. Dua minggu setelah try out, saya menerima banyak SMS yang berisi ucapan selamat dari teman-teman. Saya berhasil menjadi juara pertama try out UI se-Jawa Barat yang hasilnya dirilis di internet. Nama saya tertera paling atas di Fakultas Kedokteran (FK) UI dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UI. Sujud syukur, saya berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa saya bisa. Se-Jawa Barat, gitu, lho!
Tiba-tiba judul tabel tersebut merusak euforia saya, “Try Out”. Yah, cuma try out. Tapi tidak apa-apa. “Mudah-mudahan ini pertanda baik,” kata hati saya menghibur diri sendiri. Nilai Bahasa Inggris saya 98, Bahasa Indonesia 84, Matematika 60, Biologi Kimia Fisika minus, sekian-dan-terima-kasih, hehehe. Jadi, nilai yang membuat saya jadi juara pertama hanya Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Matematika juga lumayan, sih, itu pun di bawah garis kemiskinan.
Selepas UN, tibalah saatnya saya mulai bergerilya mengikuti berbagai tes, baik SNMPTN, Simak UI, SMUP Unpad, maupun SPMB UIN Jakarta. Rata-rata saya memilih Jurusan FK dan FKG. Untuk UIN, berhubung tidak ada FKG, pilihan kedua saya komunikasi. Awalnya saya bingung, kok, tidak ada komunikasi. Setelah diperhatikan, ternyata Jurusan Komunikasi berada di bawah Fakultas Dakwah dan Komunikasi. “Wah, ada dakwahnya nih,” pikir saya, “bisa sekalian belajar agama.” Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam bolehlah.
Jreng-jreng, tiba saatnya pengumuman berbagai tes. Inilah penentuan tempat saya kuliah nanti. Berikut hasil dari ujianujian itu.
Simak UI : Fakultas Kedokteran (tidak diterima)
Fakultas Kedokteran Gigi (tidak diterima)
SMUP Unpad : Fakultas Kedokteran (tidak diterima)