Drown In

Febry Fitriah Ardely
Chapter #1

prologue

Pertemuan pertama menumbuhkan rasa penasaran.

Entah siapa yang membuat kutipan itu. Aku hanya ingat bahwa aku pernah membacanya di internet, ketika sedang mencari inspirasi untuk melanjutkan tulisanku di sebuah platform menulis. Aku tidak pernah menyangka bahwa akan ada hari dimana aku merasa terhubung dengan kutipan tersebut.

Di balik punggung Ibu yang menutupi separuh tubuhku, aku mengintip dan mengarahkan fokus pada seorang pria yang tersenyum disana sembari berbicara dengan ibuku. Aku sebenarnya bukan anak kecil – jika umur yang menjadi tolak ukurnya – melainkan remaja yang baru memasuki masa-masa sekolah di SMA. Aku memang sedikit tertutup, tidak terlalu suka dengan interaksi sosial yang penuh dengan topeng palsu dan basa-basi. Aku lebih memilih berada di dalam kamar dan berkutat dengan buku daripada harus menghabiskan waktu bersama teman-teman yang tidak bisa kau pastikan apakah mereka benar-benar menyukaimu atau mereka hanya sedang mencari bahan untuk mengolok dari balik punggungmu.

Sayangnya, aku tak bisa membantah perintah Ibu yang memintaku untuk berkenalan dengan laki-laki di hadapanku ini. Mataku menelisik, memindai pria itu dan berusaha menyerap informasi yang bisa kudapatkan dari tampilan luarnya. Aku tetap bungkam bahkan saat Ibu menyebut namaku. Tubuhku hanya membungkuk. Formalitas. Selebihnya, aku tidak peduli.

Aku berkata demikian dalam hati, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Pusat kendali yang ada dalam kepalaku masih menyuruh mata kecil ini untuk tetap menatap laki-laki itu dengan seksama. Aku menerka-nerka. Berapa umurnya? Apa yang ia lakukan disini?

“Chae Eun.”

Suara lembut Ibu terdengar memanggil. Aku menoleh. “Hm?”

“Bicaralah,” suruh Ibuku.

Apa yang harus kubicarakan?

“Halo, Tuan,” sapaku setengah hati. Aku benar-benar tidak tahan untuk menyeret diriku kembali ke kamar.

Pria itu tersenyum. “Halo, Chae Eun.”

Aku hanya mengangguk, mengamati senyum seraya berusaha menebak apakah senyum itu tulus atau sekadar basa-basi.

Belum sempat aku menemukan jawaban, Ibu mengaburkan konsentrasiku. “Namanya Min Ji Hoon. Dia pengacara yang akan membantu ibu untuk mengurus masalah perceraian Ibu dan Ayah.”

Ah.

Perceraian.

Sesak perlahan menyergapku. Kebencian menyelinap, kembali menguasai benak. Batin yang sudah berhasil kutenangkan, kini kembali bergejolak. Tanganku mengepal kuat, menahan desakan amarah dan benci yang tertuju pada satu orang. Suami dari ibuku.

Oh, maaf. Aku tidak sudi menyebutnya Ayah.

Bagaimana bisa aku memanggil seorang kepala keluarga yang menghancurkan keluarganya sendiri dengan sebutan Ayah? Rasanya tak pantas. Jika bisa, aku ingin menghapus darahnya yang mengalir dalam setiap jengkal nadiku.

Apa aku terdengar seperti anak yang tidak tahu diri?

Lalu, bagaimana dengannya? Bagaimana dengan dia yang memilih pergi dan meninggalkan kami? Dia yang memutuskan untuk hidup bersama bahagianya yang lain, sementara kami berjuang untuk bertahan disini. Dia yang lebih mencintai kemolekan tubuh wanita itu daripada kami yang berbagi darah dengannya.

Aku berusaha mencari tahu apa dan siapa yang salah. Berusaha untuk netral dan memahami keputusan laki-laki brengsek itu. Akan tetapi, semua pertanyaan yang kuajukan hanya mengarah pada satu jawaban. Dialah yang membuat semua hancur. Bukan Ibu, bukan juga aku. Dia.

Butuh seminggu agar aku bisa benar-benar percaya bahwa dia meninggalkan kami. Kenangan yang terjalin cukup banyak di antara aku dan dia membuatku sedikit kesulitan untuk bisa menerima keputusan akhir ini. Namun, aku mengerti akan satu hal. Sesuatu yang telah hancur sudah seharusnya dibuang.

Itulah yang kulakukan sekarang. Membuang seluruh kepingan dari keluarga Park.

“Park Chae Eun!”

Suara yang cukup keras membuatku mendongak. Lagi dan lagi, aku tenggelam dalam duniaku. Meskipun demikian, nama yang disebutkan sang Ibu membuat alisku berkerut. “Namaku Kim Chae Eun.”

“Chae Eun.”

Aku menggigit bibirku. Menahan diri untuk tidak melanjutkan perdebatan akan marga yang tertera dalam namaku. Aku tidak mengerti mengapa Ibu bersikeras untuk tidak mengganti nama keluarga yang kugunakan.

Ibuku menggenggam tanganku erat. “Jadi, karena Ji Hoon-ssi­ akan membantu mengurus perceraian Ibu, dia mungkin akan sering datang ke rumah. Jika Ibu tidak ada di rumah saat dia datang, tolong layani dia dengan baik. Bantu dia.”

Aku menghela napas panjang sebelum memutuskan untuk mengangguk dan menerima permintaan Ibuku. Tangannya yang bebas bergerak naik dan mengelus kepalaku dengan lembut. Aku terbuai dan memejamkan mata, menyerap energi dari ibuku

~~~

Aku menepati janjiku. Sebenarnya, aku juga setengah hati melakukan ini, tapi melihat kondisi Ibu yang terkurung dalam beban perceraian dan pekerjaan, aku tidak enak hati jika harus membangkang padanya.

Seperti yang ia katakan, pengacara itu memang beberapa kali datang ke rumah kami. Dia lebih sering datang ketika Ibuku sedang ada di rumah, tapi terkadang juga ia datang saat Ibu sedang pergi.

Aku melakukan persis seperti apa yang Ibu minta, melayani pengacara itu sementara ia berkutat dengan dokumen-dokumen yang dibawanya. Sesekali, aku memperhatikannya dari kejauhan. Mengamati bagaimana ia bicara dengan lembut namun tegas. Bagaimana ia mendengarkan ibuku dengan penuh seksama. Bagaimana ia menyiapkan seluruh dokumen dengan baik. Dia terlihat sangat kompeten.

Dalam suatu percakapan, aku mendengar Ibu dan pengacaranya berbicara tentang harta gono-gini. Aku tidak menyangka bahwa pengacara itu sempat mempertemukan ibu dengan laki-laki untuk membicarakan pembagian harta. Mataku membulat ketika mendengar fakta bahwa pria itu memberikan rumah serta harta lainnya untuk kami. Ia tidak mengambil sedikit pun dari harta pernikahan yang ada.

Lihat selengkapnya