“Kau benar. Aku benar-benar bangga padanya.”
Aku memilih untuk mengabaikan kata-kata perempuan yang sedang membicarakan diriku di telepon. Entah siapa yang berbicara dengannya, tapi Ibuku terlihat sangat asyik membahas tentang anaknya yang berhasil lolos ke salah satu universitas terbaik di Korea Selatan, terlebih jurusan yang kuambil cukup bergengsi. Padahal menurutku, itu biasa saja.
Aku memasang wajah datar, terlalu malas untuk mendengar perbincangan Ibu. Kakiku terlipat di atas sofa sementara tanganku memegang sebuah bungkus keripik. Mata tertuju lurus pada tayangan variety show di televisi dan sesekali aku tertawa karena adegan yang lucu.
“Bibi Han menelepon. Dia mengucapkan selamat untukmu,” ujar Ibu setelah menutup telepon dan berjalan mendekatiku lalu duduk disamping. Aku berdeham sambil menggeser tubuhku, memberi ruang yang lebih luas untuk Ibu.
Tanganku kembali menyuap keripik ke dalam mulut. “Jadi kapan kita akan pindah?” tanyaku.
“Hari Senin,” jawab Ibu. Tiba-tiba, ia membalik tubuhnya menghadapku. “Kurasa ini takdir. Ibu dipindahkan ke kantor pusat, dan kau diterima di universitas.”
Aku kembali mengabaikan perkataan Ibu dan memilih fokus pada tontonan yang kunikmati. Sejenak, aku memikirkan apakah aku harus kuliah atau tidak karena sejujurnya, aku tidak suka belajar. Muak rasanya berkutat dengan tulisan, angka, teori dan praktek. Lagipula, aku juga enggan untuk pindah. Terlanjur nyaman hidup di pinggiran kota. Aku melirik Ibu yang sedang mengetik di layar ponselnya. Senyum yang mengembang di wajahnya membuatku langsung tahu apa yang sedang ia ketik.
Tidak ada pilihan lain, batinku berkata demikian. Meskipun enggan untuk meninggalkan rumah yang sudah menjadi zona nyamanku selama ini, tapi aku punya alasan yang lebih kuat untuk pergi dari sini.
Setelah sidang perceraian berakhir, aku pikir aku akan menjalani hidup dengan tenang. Nyatanya, aku salah. Orang itu tetap mendatangiku. Ia mendatangi kami dan bertamu. Ibu menyambutnya sementara aku memilih untuk mendekam di kamar hingga pria itu pergi dari rumah kami.
Aku tak habis pikir dengan Ibu yang masih bisa menyambut pria brengsek itu dengan santai. Ibu masih bisa tersenyum dan berbincang dengan laki-laki yang sudah menghancurkan hatinya. Matanya memberikan tatapan hangat seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Aku merasakan desakan untuk mengusir pria itu dari rumah kami setiap kali ia datang, tapi aku tidak yakin bisa menahan kepalan tanganku untuk mendarat di pipinya saat aku melihat wajah itu. Aku tidak ingin membuat adegan drama menjijikan bersama laki-laki itu.
Oh, pria itu juga datang ke sekolahku. Meskipun ia hanya menunggu dari kejauhan dan tidak menyapaku, tapi keberadaannya cukup mengganggu. Belum lagi dengan teman sekelas yang sudah tahu keadaan keluarga kami dan terus-menerus memberitahuku setiap kali pria itu datang. Emosiku pernah meledak satu kali, membentak salah satu temanku dan berkata bahwa aku tidak peduli pada laki-laki itu. Mereka pun akhirnya diam dan tidak lagi mengatakan apapun tentangnya. Namun, retinaku selalu berhasil menemukannya sedang menunggu di ujung jalan.
Aku mati-matian belajar agar bisa pergi dan menjauh darinya. Mencari tempat lain yang bisa memberiku ketenangan. Ketika aku mendapatkan berita bahwa aku berhasil lulus seleksi universitas, aku langsung berpikir untuk pindah ke kota, menggunakan jarak sebagai alasan agar aku diizinkan untuk pergi. Tak disangka, Ibu mendapat perintah mutasi dari kantor cabang ke kantor pusat di kota. Pada akhirnya, kami berdua punya alasan yang kuat untuk pindah dari rumah ini.
“Kau sudah mengemas barang-barangmu?”
Aku mengangguk. “Sudah. Ibu?” tanyaku basa-basi.
“Belum semua. Ibu belum mengemas dokumen-dokumen yang ada di lemari,” jawab Ibu lesu. “Ibu tidak sempat membereskannya karena kantor cabang benar-benar berusaha untuk memanfaatkan Ibu hingga titik darah penghabisan. Mereka memberiku tumpukan pekerjaan untuk diselesaikan sebelum Ibu pindah.”
“Berlebihan.”
Ibu mencubit pipiku. “Kenapa kau dingin sekali, hm? Kau seharusnya jadi wanita yang ramah, penuh senyum dan periang.”
Aku mendecak pelan. “Jadi, Ibu menyuruhku berubah jadi gadis genit yang selalu tebar senyum kemana-mana?”
“Tidak seperti itu juga. Baiklah, lakukan saja sesukamu,” kata Ibu yang begitu cepat menyerah.