Drown In

Febry Fitriah Ardely
Chapter #3

another question

Jika Tuhan memberimu kesempatan, apakah kau akan mengambilnya?

Jika kau mengajukan pertanyaan itu padaku, aku akan menjawab, "Ya."

Kesempatan adalah hal yang mahal. Kau tidak akan menemukannya jika bukan Tuhan yang mengarahkanmu pada kesempatan itu.

Sayangnya, Tuhan tidak sebaik yang kau bayangkan. Tuhan bukanlah sosok yang bisa kau tebak. Kadang, Dia membawamu terbang tinggi ke angkasa, menganugerahimu nikmat yang tiada duanya. Namun terkadang juga, Dia bisa menjadi sosok yang kejam, menghempaskanmu ke tanah dan memberimu penderitaan bertubi-tubi yang tak berujung.

Jadi, jika Tuhan sedang berbaik hati memberikan nikmat kesempatan padamu, hal yang seharusnya kau lakukan adalah mengambil kesempatan itu.

Itulah yang aku pikirkan ketika Ibu bertanya padaku apakah ia boleh mengajak Ji Hoon makan malam bersama kami, dan tentu saja aku mengiyakan ide tersebut.

Oh, tolong jangan katakan padanya kalau aku tidak memanggilnya dengan sebutan 'Paman'. Cukup jadikan hal ini sebagai rahasia antara kau dan aku.

Aku yakin Tuhan mempertemukanku kembali dengan Ji Hoon karena suatu alasan. Sang Pencipta sepertinya sudah muak melihat daftar pertanyaanku yang tak terjawab.

Pertemuan dan makan malam itu mungkin menjadi jalan yang Tuhan berikan untuk membuka kembali kotak pertanyaan yang menggangguku selama ini. Mengeluarkan dan membebaskan diri dari jeratan tanda tanya yang menggerayangiku.

Seperti yang kuperkirakan, laki-laki itu tidak menolak. Pria lajang yang hidup sendiri tidak akan menolak ajakan makan malam gratis dimana ia tidak perlu merogoh isi dompet sedikitpun atau mengeluarkan energi untuk memasak.

Mataku melebar kala melihat seisi meja yang penuh dengan makanan. Aku mendongak dan menatap Ibu. "Apakah kita harus menyajikan sebanyak ini untuknya?"

Ibu tersenyum lebar. "Sebagai tetangga baru, kita harus memperlakukannya dengan sebaik mungkin."

"Ibu, dia hanya tetangga, bukan presiden ataupun raja."

"Apa salahnya kita memperlakukan tetangga kita dengan baik?"

"Ini terlalu berlebihan. Lagipula, apa Ibu pikir dia akan sanggup menghabiskan makanan sebanyak ini?"

Aku mengaduh keras saat Ibu memukul kepalaku dengan centong nasi. Tanganku sontak mengelus bagian yang berdenyut sakit.

"Jangan banyak protes. Cepat panggil Ji Hoon-ssi untuk makan malam."

"Panggil lewat telepon saja."

"Anak ini! Jemput dia di rumahnya."

Aku mendengus kesal, tapi tetap menuruti kemauan aneh Ibuku. Maksudku, Ji Hoon bukanlah seorang putri yang harus dijemput. Dia laki-laki mapan dan dewasa. Dia tidak akan tersesat meski sejauh apa pun ia menjelajah.

Angin malam bertiup cukup kencang. Aku merutuk karena lupa mengambil jaketku. Otakku sudah terlanjur kesal dengan perintah Ibu yang tidak masuk akal hingga tak memikirkan suhu dingin di luar selepas hujan sore tadi.

Tanganku terlipat depan dada sementara asap putih tercipta dari sela-sela bibirku yang mulai terasa kaku. Aku berlari kecil menuju rumah Ji Hoon yang berada tepat di sebelah kami.

Tak tahan dengan udara dingin, aku langsung menekan bel rumahnya dan menunggu sejenak di luar pagar hitam yang menutupi rumahnya. Aku tidak ingin di-cap sebagai anak yang lancang masuk ke rumah orang lain tanpa permisi.

Lihat selengkapnya