Pucat ....
Lesuh ....
Kumuh ....
Itulah alasan, mengapa aku selalu memandangi wajahnya. Dia duduk dibarisan paling belakang. Pantulan cerminlah yang membantuku untuk melihat wajah yang pucat pasi. Perlahan awan mulai menjatuhkan bebannya. Tetes demi tetes, semakin lama air yang jatuh itu semakin deras. Terdengar dari luar bus suara gemericik air itu semakin membesar.
Aku memutuskan untuk menikmati musik dengan menggunakan earphone. Aku masih memandanginya lewat pantulan itu. Entah kenapa, rasa ini sangatlah asing. Terkadang sesekali aku membuang wajah ke arah kaca bus, untuk melihat kondisi di luar sana. Kali ini aku melihatnya sedang ada di luar sana.
Basah, lemah, tak berdaya.
Itulah kondisinya, aku seakan ingin turun dari bus dan menjemputnya. Namun, itu tidaklah mungkin untukku lakukan.
Di mana sebenarnya dia sekarang?
Di luar atau ada di pantulan itu?
Diri ini berharap itu khayalan semata dan sudah menjadi hal yang wajar jika tidak dipercaya. Aku memutuskan untuk berhenti melihat dia yang ada di luar sana.