Masih dalam posisi yang sama, aku dan Reyhan mencoba bertahan.
Berusaha tidak bergerak dan mengeluarkan suara sedikit pun.
Aku menutup mulut dengan salah satu tangan. Reyhan mendekapku dan mencoba melindungi jika sewaktu-waktu ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
Bayangan itu semakin mendekat dan dekapan ini semakin erat. "Gina, jangan takut, ya! Ada aku di sini." Reyhan berbicara seperti itu sambil sesekali memantau gerak-gerik bayangan yang tergambar di lantai.
Sempat-sempatnya dalam kondisi yang masih diselimuti oleh rasa takut, aku merasa sedikit senang dengan ucapan Reyhan tadi. Ya, selama bersahabat dengan Reyhan aku belum pernah melihatnya bersikap berani seperti ini.
"Rey, gimana?"
Aku menantap Reyhan dan berharap bayangan itu sudah hilang.
Reyhan mengangguk dan melepaskan dekapan ini.
"Huh! Syukurlah akhirnya bayangan itu pergi," aku menghela napas dan merasa sedikit tenang.
Kali ini Reyhan menatapku dengan tajam. "Rey, ada apa?" aku merasa sedikit ada yang aneh dengan tatapan itu. Reyhan bersikap sedikit berbeda dari biasanya. Dia adalah laki-laki yang mempunyai sifat dingin, lebih dingin dari es batu ataupun sejenisnya ---ya, bisa disebut juga sebagai kulkas berjalan--- tapi, sifat dinginya berubah ketika dia menatapku.
"Gina! Sebenarnya aku ... ah, sudahlah tidak jadi, abaikan saja, ya!" Reyhan gugup dan membuang tatapan itu.
"Owh, iya. Ayo, kita lanjut cari Kevin!" ajaknya yang mencoba mengabaikan kejadian tadi.
"Rey, apa benar situasinya sudah aman? Bayangan tadi, itu bayangan siapa?" aku mulai khawatir dan berpikir hal-hal negatif yang mungkin terjadi.
"Gina, bayanganya sudah hilang. Kalau bayangan itu datang lagi, jangan takut. Kita hadapi semua ini bersama, Gin. Oke, kita lanjut cari Kevin, ya!" Reyhan mencoba menenangkanku.