Drunken Monster Republish #3

Mizan Publishing
Chapter #1

Air Lembang Panas

Pada suatu hari di malam minggu, saya ajak karyawan saya untuk mandi air panas. Mandi air panasnya di sana, di daerah Lembang, Bandung. Karyawan yang ikut sepuluh orang. Semuanya laki-laki. Laki-laki semuanya dan manusia.

Malam minggu itu, Bandung tidak hujan. Baguslah. Tapi meskipun hujan, tetap saja akan bagus selama terus disebut bagus. Coba lihat, kami masuk ke dalam mobil untuk pergi ke sana. Ke mana tadi? Ke tempat pemandian air panas, kan? Di Lembang. Ngeeeng, mobilnya Kijang, sopirnya manusia, yaitu si Marwan, yang berbintang singa.

Di daerah setelah IKIP Bandung atau UPI Bandung atau kalau dipanjangkan jadi Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, mobil menepi. Karena? Karena mau bertanya kepada seorang manusia yang sedang berdiri di pinggir jalan. Manusia itu berbentuk laki-laki. Dia sedang berancang-ancang karena mau menyeberang:

”Punten, Pak!” kata saya dengan harapan dia segera menyangka saya polisi oleh sebab intonasi suara yang didengarnya.

”Ya?” dia menjawab. (Bahasa Inggris-nya: Yes?)

”Kalau mau ke Lembang, lurus terus ya?” saya bertanya.

”Iya. Lurus aja, Pak,” orang itu menjawab dengan ada gugupnya. Mungkin karena mendengar ada banyak suara di dalam mobil. Terdengar seperti suara orang sedang disiksa.

”Mau ikut, Pak?” ”Makasih. Enggak, Pak!” ”Okey, kalau begitu. Makasih, Om Lukas. Mangga!”

”Mangga! Mangga!”

Kenapa saya panggil dia Lukas? Karena saya juga gak tahu. Mungkin karena saya tiba-tiba ingat Lukas, kawan saya di Belanda. Mobil maju. Dan, suara jeritan sudah berubah jadi ketawa. Tadi itu, mereka menjerit karena memang disuruh oleh saya.

Ow, akhirnya sampai juga di Lembang. Mobil berhenti beberapa meter agak jauh dari gerbang. Itu gerbang, kalau kamu mau tahu, dibangun asal saja, asal cukup bisa dianggap gerbang, karena meskipun ada budget, tapi tak ada taste yang bagus dari si Orang yang sudah menyuruh membuatnya.

Kepada orang yang ada di dalam mobil, saya bilang, jangan ada yang turun dulu, biar saya saja.

”Siap grak!”

Saya tersenyum dan turun, lalu pergi ke sana, menemui penjaga tiket yang tak tahu sedang apa duduk di situ. Subhanallah, Saudara-Saudara! Subhanallah, coba kamu lihat, loket tiket itu ada di bagian sebelah kanan gerbang.

”Selamat malam, Pak!” saya menyapanya dengan membungkuk biar bisa bicara dengan dia melalui lo-bang kecil yang ada di loket itu.

”Malam,” katanya. Itu kata si Bapak penjaga tiket yang saya tebak umurnya sudah di atas 40 tahun, tapi kalau ditanya, kayaknya dia akan ngaku masih umur 25. Dia pake jaket yang ada penutup kepalanya. ”Malam,” katanya sambil membungkukkan dirinya juga.

”Maaf, Pak.”

”Iya?”

”Saya dari rombongan rumah sakit jiwa!” kata saya langsung saja pada pokoknya.

”Rumah sakit apa?”

”Rumah sakit jiwa, Pak!”

”Rumah sakit jiwa?” dia bertanya ingin lebih yakin dengan yang saya katakan.

”Iya. Dari rumah sakit jiwa,” jawab saya dengan volume suara yang sengaja saya bikin lebih keras karena saya kuatir mungkin saja malam itu dia adalah karyawan yang harus pura-pura tuli.

”Oh? Ada apa ya?” tanya dia.

”Ini, saya bawa pasien, Pak. Mau mandi di sini. Mau terapi. Bisa ya?”

”Oh?” Saya melihat sepertinya dia bingung. Memandang ke arah mobil, juga memandang ke arah jauh, ke arah pos satpam yang ada di sana, di arah seberang jalan masuk menuju tempat pemandian.

Saksikanlah, si Tukang Tiket itu mulai turun dari kursinya. ”Bentar ya, Pak!” katanya, kemudian dia keluar dari sarangnya dan memanggil satpam yang saya lihat sedang duduk nonton teve di poskonya. ”Pak Ujang!” dia teriak. Pak Ujang yang dipanggilnya itu adalah manusia yang sudah agak tua. Malam itu, dia tampil dengan gaya andalannya: look army, yang sepadan dengan badannya yang gemuk dan mukanya yang baby face dan poskonya yang remang-remang dan pot bunganya yang rimbun dan lain-lain sebagainya, kamu harus datang sendiri deh, kalau ingin detail!

”Iya?” tanya pak satpam itu setelah kemudian bergabung bersama kami sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. Kayaknya, dia ingin tampil wibawa, padahal saya tahu itu karena dia kedinginan.

”Pak Handi masih ada ya?” tanya si Tukang Tiket kepadanya.

”Masih kayaknya,” jawab dia sambil memandang ke arah saya, lalu bertanya, ”Ada apa ya, Pak?”

Yang menjawab bukan saya, melainkan si Tukang Tiket itu.

”Ini, Pak Ujang. Si Bapak ini ... bawa rombongan rumah sakit jiwa!”

”Rumah sakit jiwa?” Pak Ujang langsung merasa kaget, lalu memandang ke arah saya dan kemudian memandang ke arah mobil juga.

Lihat selengkapnya