Drunken Monster Republish #3

Mizan Publishing
Chapter #3

Jalan ke Mana - Mana

Hari sudah pagi. Ini hari Minggu. Lari pagi. Makan dan minum pagi maka itulah namanya sarapan pagi. Memberi makan si Kucing, yaitu nama anjing herder saya. Menurut saya, dia itu sangat gagah kalau dibanding dengan anjing kampung yang sudah mati. Anak dan istri dan mertua dan bibi dan beberapa keponakan saya, sejak malam tadi pada pergi ke Jakarta. Akan percuma kalau kamu bertanya mau apa ke Jakarta karena saya tidak akan menjawabnya. Pokoknya saya tidak ikut karena harus manggung malam minggu tadi itu.

Habis sarapan, saya tidur. Saya tidur karena ngantuk, seandainya ada alasan lain selain ngantuk, saya tetap tidak akan mengatakannya. Pokoknya, saya betul-betul ngantuk. Akibat semalam saya begadang, sepulang dari manggung itu. Begadang untuk pekerjaan yang saya tidak mengerti kenapa harus dikerjakan selalu di malam hari.

Tidur siang di sofa itu berlangsung tanpa mimpi. Bangun-bangun sudah pukul dua siang. Berlekas mandi, kemudian saya pergi, tentunya setelah saya menggunakan pakaian. Itu saya pergi untuk jalanjalan. Jalan-jalan ke mana saja ke tempat saya suka. Alaaah, uang saya tinggal delapan juta lagi. Delapan puluh juta rupiah.

Di perjalanan, saya mampir dulu ke sana. Ke Rumah Makan Khas Indonesia Bagian Timur pada pukul setengah tiga Waktu Indonesia Bagian Barat.

Lokasinya di sana, di daerah jalan Citarum, Bandung. Hanya ada beberapa orang yang sedang makan. Tak ada satu pun dari mereka yang saya kenal. Aneh, menurut saya ini aneh, sama-sama tinggal di bumi, tapi gak pada saling kenal. Gimana, sih?

Teman-teman saya juga entah di mana, gak ada di situ. Aduh, teman saya miskin, kenapa saya tidak! Jadi aja saya makannya sendirian. Menurut saya, justru enak kalau begitu. Makan sendiri membuat saya tidak perlu ada ngobrol. Makan jadi lekas habis dan jadi ingat apa kata mamanya si Fauzan, teman anak saya: kalau makan diam, jangan banyak ngomong.

Oh, ada SMS dari teman! Dia tanya nomor Ida, teman sekerja dengan saya. Saya balas SMS-nya dengan memberi nomor si Syahrul. Kamu jangan sampai tahu ya kalau Syahrul itu pacar Nia.

Setelah makan selesai, saya minum, lalu bayar, yaitu untuk apa-apa yang sudah saya makan. Kembaliannya tidak diambil, sesekali jadilah dermawan, apa susahnya, apalagi uang kembaliannya cuma beberapa ribu. Cuma dua ribu. Saya pergi.

Di jalan, lalu lintas sedang sangat sepinya. Huh, kenapa tidak macet? Ini kan jadinya kurang seru. Kurang rame. Tak ada sopir marah. Tak ada cerewet. Tak ada klakson. Itu memberi saya ide untuk pijit klakson sesering saya suka. Klakson mobil berbunyi nyaris di sepanjang perjalanan, membuat banyak orang jadi memandang ke arah mobil saya. ”Apa lu lihat-lihat, heh?” kata saya pada mereka. Tapi, mereka pasti tak akan marah meskipun saya maki seperti itu. Karena? Karena saya mengatakannya di dalam hati.

Di daerah jalan Ganesha, saya ingat SBY, si Presiden Indonesia. Aduh, kenapa jadi inget SBY ya? Ini pasti gara-gara dulu, gara-gara ada pemilu. Waktu itu, saya mencoblos SBY. Tetapi dengar ya, itu asli bukan bersumber dari hati nurani saya. Itu lebih disebabkan karena saya disuruh Timur, anak saya, yang saat itu baru berumur lima tahun. Saya bawa dia ikut ke dalam bilik suara.

”Pilih mana, Timur?”

”SBY, Yah!”

Lalu saya coblos SBY, tetapi marilah, soal ini jangan dibahas banyak-banyak.

Teman saya SMS lagi. Katanya, itu bukan nomor Ida. Saya balas SMS-nya karena mau minta maaf. Dia SMS lagi, bertanya mana nomornya. Saya kirim nomor saya sendiri, menyebabkan dia SMS lagi untuk bilang, ”Belegug!”

Saya sudah ada di sana, di daerah Simpang Dago. Beli sop buah untuk dimakan. Ada satu orang gila, dia lewat, bawa banyak sampah di tubuhnya dan di bagian kepalanya, tapi ya sudah biarin saja, untuk apa saya bahas, dia juga tidak pernah membahas saya, enak aja! Tidak lama, datang pengamen, dia masuk dan langsung nyanyi. Nyanyilah dia, dua lagu. Tidak saya kasih uang karena saya suka Rolling Stones, tapi dia nyanyi bukan. Boleh dia marah, tetapi saya kan taekwondo. Kalau saya kalah? Kalem, ada polisi. Polisinya di sana sedang sibuk mengatur lalu lintas, saya tinggal teriak kepadanya meminta tolong.

Awan mendung di atas Simpang Dago itu kemudian turun menjadi hujan. Hujan yang lumayan cukup besar. Orang-orang dari berbagai keturunan pada lari mencari tempat berteduh. Saya tidak. Saya tidak nyari karena sudah ada di dalam tenda penjual aneka macam sop buah. Akhirnya, saya bayar juga sop buah itu dan pergi. Pergi dengan kaki yang menancap di atas pedal gas mobil. Kamu juga pasti bisa. Saya pergi ke daerah Dipatiukur. Kamu tidak tahu ya siapa Dipatiukur itu? Kalau mau tahu, tanya saja temanmu, saya tak ada waktu.

Di jalan dekat sebuah toko kaos, saya bunyikan klakson. Itu klakson khusus untuk teman saya. Saya mendapatinya sedang duduk di emper warung. Dari kaca spion mobil, saya bisa melihatnya sedang sibuk melambaikan tangan kepada saya. Kata sebuah nasihat: kawan yang ramah harus dibalas dengan ramah. Saya tidak tahu siapa yang ngomong itu, tapi nyatanya saya balas lagi lambaiannya dengan cara mengeluarkan tangan saya dari pintu mobil. Oh ternyata, tadi itu, dia minta saya berhenti, tetapi hal itu baru bisa saya sadari setelah mobil melaju jauh.

Di daerah dekat kampus UNPAD, saya menepi karena mau bertanya kepada orang. Kepada orang yang sedang duduk di bangku halte. Dia adalah penjual jagung rebus.

”Bapak!”

”Iya?”

”Ke mana aja?” kata saya sambil mencondongkan badan ke arah pintu mobil bagian sebelah kiri.

Rasanya dia bilang: ”Heh?” karena saya melhat dia seperti kaget.

”Si Dadang masih di Jakarta?!” tanya saya dengan sedikit teriak karena agak jauh jaraknya.

”Dadang?!” dia bingung, lalu bertanya dengan harus sedikit teriak juga.

”Dadang mana?!”

”Masa’ lupa?!” tanya saya, sebenarnya saya sendiri juga tidak tahu Dadang mana, ”Dadang Bi Iyah!” kata saya lagi.

Saya lihat dia berdiri dari duduknya, pasti bertanyatanya ingin tahu siapakah gerangan saya, juga siapa sih Dadang itu?!

”Bapak masih di Riung Bandung?!” saya bertanya masih dengan sedikit agak teriak. Riung Bandung itu nama kompleks perumahan yang ada di Bandung mana, ya?

”Enggak!”

”Di mana sekarang, Pak?” saya nanya.

”Cihapit!”

”Pernah di Riung Bandung ya?!”

”Enggak, A!”

Lihat selengkapnya