Dryades

Elisabet lionita alexander
Chapter #3

Chapter 3 - Lavender

Bunyi suara goresan pena di atas kertas sangat terdengar di dalam ruangan kerja itu. Gerakan tangan yang sangat cepat di halaman-halaman kertas putih dinodai oleh warna hitam dari tinta. Freddo sudah cukup lelah dengan dokumen-dokumen di atas meja kerjanya yang tak kunjung selesai. Sesekali ia meminum kopi nya yang sudah tidak dihitung lagi berapa cangkir.

Ia melihat sekeliling ruang kerja itu dan tak ada hal yang menarik sama sekali. Furnitur yang didominasi oleh kayu. Di sebelah meja kerja terdapat lemari dan rak buku yang di penuhi berbagai macam binder, ensiklopedia, buku sejarah dan dokumen penting lainnya. Di tengah ruangan ada sebuah meja dan tiga sofa yang biasa di pakai oleh putri kecilnya untuk menunggu dirinya selesai dan bermain bersama. Biasanya sesekali ia melirik putrinya melihat apa yang di lakukan, terkadang ia duduk manis sambil memakan camilan kue coklat atau ketika bosan ia akan menahan kantuk di sofa lembut itu. Pernah sekali ia menangkap putrinya sedang menggambar dirinya yang bekerja di atas meja nya itu, lalu putri nya sembunyikan di dalam laci meja tersebut. Freddo sangat merindukan putrinya yang sudah berbaring selama tiga hari tanpa penyebab.

Freddo terdiam sebentar dan memainkan potongan puzzel putrinya yang tertinggal di dekat tumpukan dokumen. Ia melihat ke dinding di sebelah kanan, terdapat lukisan ia dan almarhum istri yang sangat ia cintai. Seandainya istrinya ada disini apa yang akan ia lakukan, pikir Freddo. Angin yang berhembus dari jendela besar di belakangnya menambah suasana tenang dan sedih. Hanya ada suara beberapa pekerja kebun dan pelayan yang berbincang atau sesekali suara prajurit yang bekerja di kediaman Lawrence. Ia menatap kebun bunga Lavender yang Istri dan Putrinya sangat sukai itu. Setiap kali putrinya mengajak Freddo untuk minum teh pasti mereka akan pergi kesana.

*Lelah.... Kapan kertas-kertas ini akan menghilang dari hadapanku.*, pikirnya sambil tetap memegang potongan puzzle putrinya.

Belum selesai melamun, terdengar ketukan pint dan Lea memberitahukan kabar gembira bahwa putrinya itu sudah bangun. Namun tidak sampai satu menit, pundak Freddo sudah menyusut kembali.

“Tuan Freddo Nona Ashlin sudah sadar...”, Ia berhenti sebentar, “....tapi Nona sepertinya mengalami gejala amnesia. Ia tidak mengingat ia berada dimana dan tidak mengenali saya. Waktu saya masuk Nona sedang menghadap cermin dan memegangi mukanya, seolah-olah ia terkejut.”, ucap Lea dengan hati-hati. Tanpa menunggu apapun, Freddo langsung pergi dari ruang kerjanya dan berlari ke kamar putrinya.

”ASHLIN !! ASH!!”, ucap Freddo dengan keras dan masuk ke dalam kamar anak tunggalnya.

“Ash...my little baby, akhirnya kamu sadar. Kamu tahu betapa sedih nya Ayah saat tahu kamu tiba-tiba pingsan dan tidak bangun selama tiga hari. Ayah pikir kejadian yang menimpa Almarhum Ibu mu akan terulang, baby”, ucap Freddo sambil memeluk Ashlin.

Namun apa yang diucapkan Lea sepertinya benar bahwa putri tunggalnya mengalami amnesia. Ia melihat wajah putrinya yang sama namun merasakan bahwa itu bukan lah putrinya yang dulu. Putri kecilnya yang melihat ke arah dirinya tidak tahu dan percaya bahwa ia adalah ayahnya. Setelah menjelaskan dengan seadanya, Freddo merasa ia harus menenangkan diri dulu sebelum benar-benar berbincang dengan putrinya. Ia pun meminta Lea untuk menyiapkan camilan kue coklat dan teh mawar sebelum ia pergi keluar mencari angin segar dan menjernihkan pikirannya. Terdengar ketukan pintu dan Lea masuk membawakan apa yang Freddo minta.

”Terima Kasih Lea. My baby, Ash. Kamu bersama dengan Lea sebentar ya. Ayah mau menyelesaikan beberapa dokumen lalu kembali.” Sambil tersenyum Freddo membelai halus kepala putrinya, lalu pergi dengan alasan tersebut.

*Alexandra.... Apa yang harus ku ucapkan kepada putri kita? Sudah cukup aku kehilanganmu apa harus juga aku kehilangan putri kecil kita.*, pikir Freddo sambil berjalan di lorong rumah

Tanpa sadar kaki Freddo membawa dirinya ke depan pintu kamar membaca almarhum istrinya. Ia pun terkejut dengan langkah kakinya sendiri. Dilihatnya pintu yang berwarna putih dengan gagang emas dan mendorong secara perlahan.

Ruangan itu sering sekali dikunjungi oleh Alexandra di saat ia ingin sendiri. Buku adalah teman Alexandra kapan pun suasana hati istrinya alami. Rak-rak buku yang tinggi dan memiliki berbagai kategori di setiap tingkatnya, dari sejarah, edukasi, cerita fiksi dan lainnya. Harum Alexandra, almarhum istrinya, masih tertinggal disana. Freddo memang menyuruh pelayan rumah untuk tidak menggeser apa-pun di dalam sana dan hanya di bersihkan sebulan satu kali. Akibatnya ruangan itu tetap sama seperti sebelum Alexandra meninggal. Hanya ada dua kursi dan satu meja di dalam ruangan itu. Dengan cahaya alami di siang hari dari jendela-jendela di beberapa titik membuat ruangan tersebut tidak memerlukan lampu yang terlalu banyak. Hanya ada dua lampu yang bergantung di atas langit-langit dan satu lampu untuk membaca. Vas bunga yang berisikan Lavender di atas meja selalu di ganti air dan bunga setiap ruangan dibersihkan.

Almarhum Alexandra memang sangat menyukai bunga Lavender karna ia merasa nyaman dan santai ketika menghirup wangi bunga tersebut. Freddo pun duduk dan melihat sekeliling ruangan itu sambil merindukan Alexandra. Pertama kali, ia mendengar kabar bahwa istrinya dalam keadaan sekarat setelah melahirkan Ashlin ia langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari ke kamar istrinya. Freddo menjaga agar istrinya tidak kenapa-kenapa bersama beberapa dokter. Namun nasip berkata lain, istrinya harus meninggalkan dia dan putrinya di umur 32 tahun.

Freddo melihat meja baca tersebut dan membuka laci satu persatu. Hanya karena penasaran apa yang Alexandra lakukan disini setiap kali selain membaca buku. Ia menemukan barang-barang pemberian Freddo yang Alexandra dulu anggap sangat jelek dan tidak ingin memakai atau menggunakannya. Ada juga beberapa surat cinta pemberian Freddo saat mereka masih berpacaran. Setangkai bunga Lavender yang sudah lama sekali Freddo beri kepada Alexandra saat mereka pertama kali berkencan masih disimpan oleh almarhum istrinya itu. Ia mengeringkan dan membingkai dengan sangat cantik dan menuliskan di belakang bingkai from my handsome dan wonderful boyfriend.

Saat melihat itu, air mata Freddo mulai terjatuh. Istrinya sangat menyayanginya. Ia pernah berpikir kalau Alexandra adalah wanita materialistis karena barang yang Freddo berikan kepada Alexandra tidak pernah di pergunakan. Alexandra hanya memakai yang harganya mahal saat itu. Barang yang harganya murah tidak pernah dilihat Freddo, ia pikir Alexandra membuang atau memberikan kepada pelayan-pelayannya. Namun, Alexandra menyimpannya dengan baik. Dulu Istrinya sangat menyukai barang-barang yang simpel namun setelah menikah Alexandra memilih yang berkebalikan dengan itu semua. Freddo sempat bingung dengan sikap istrinya namun karena sifat istrinya tidak berubah selain dari gaya berpakaian dan barang-barang, ia tidak mempermasalahkan sama sekali perihal hal tersebut. Freddo pun menemukan sebuah surat di paling dalam laci meja. Ia membuka dengan sangat hati-hati.

“Dear Suami ku tercinta, Freddo my Hero.

Jika kamu menemukan surat ini berarti aku sudah tidak bersama mu lagi... Jangan menangis kamu adalah kepala keluarga ini kamu harus kuat. Aku tahu akhir-akhir ini kondisiku sedang tidak maksimal dan mengalami penurunan pesat. Aku sudah menghubungi beberapa dokter dengan diam-diam agar kamu tidah khawatir tapi tidak ada obat yang bisa membantu. Aku juga tahu resiko apa bila aku melahirkan anak kita, akau akan meninggalkan mu. Tapi, aku ingin anak ini untuk berjaga-jaga bila umur ku tidak panjang. Apabila sesuatu terjadi kepadaku setelah melahirkan anak kita, akan ada dia yang menemanimu menggantikan aku. Apapun yang terjadi kepada anak kita kedepannya, tolong kau tetap menyayangi dia tanpa batas.

Tolong kau jaga dia dengan baik seperti kau menjaga dan memperlakukan ku dulu. Jangan melampiaskan amarah mu pada anak kita, aku tak mau itu terjadi. Aku menamai anak kita Ashlin karna aku ingin anak kita tumbuh menjadi besar dan kuat, dan lagi nama Ashlin bisa untuk laki-laki atau perempuan. Aku tidak tahu nanti dia akan menjadi apa makanya aku mencari nama yang bisa di pakai di kedua gender itu. Ashlin Lawrence.

Suamiku, aku ingin memberitahu sesuatu. Kamu pasti akan menemukan barang-barang yang kamu beri dan tak pernah ku pakai di dalam laci ini. Aku bukan tidak mau memakainya, aku sangat suka barang ini di banding barang-barang mahal itu. Namun, ada beberapa Nyonya muda yang tidak menyukai selera ku dan aku merasa kalau tidak mengikuti mereka aku akan membawa nama keluarga Lawrence menjadi buruk. Oleh sebab itu aku tak pernah memakan dan hanya memilih untuk menyimpannya. Ku harap itu tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Dan yang terakhir, aku sangat mencintai dan menyayangimu Fred. Kau adalah laki-laki pertama dan terakhir di hidupku. Aku senang dalam beberapa puluh tahun di hidupku, aku selalu menghabiskan waktu ku bersama mu. Kau bagaikan matahari di hidup ku dan aku akan mengikuti mu kemana pun kau pergi. Namun sepertinya aku yang harus meninggalkan mu duluan. Maaf kan aku. Aku hanya ingin kau tahu, kau akan selalu di hatiku apapun yang terjadi.

I love You Fred.

Alexandra Lawrence.”

Freddo meneteskan air mata dengan sangat banyak setelah melihat isi surat tersebut. Seandainya Alexandra masih disini aku akan memeluk dirinya dan memberi nya lebih banyak. Aku tidak akan memilih dokumen ini di banding dirinya.....

Melihat arah jam dinding di dekat pintu keluar, ia memutuskan untuk menemui putri tunggalnya. Tidak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam kamar membaca Alexandra tapi matahari sudah mulai tenggelam dan sudah saat nya ia berbincang dengan Ashlin.

Lihat selengkapnya