Perempuan tua yang umurnya konon sudah ratusan tahun itu memang sudah menetapkan aturan keras pada siapa pun untuk tidak mendatangi Bukit Ramalan jika matahari sudah terbenam, terlebih lagi melewati gua tempat tinggalnya. Begitupun bagi mereka yang tinggal di lereng bukit, dilarang untuk turun ke perkampungan jika malam telah menyelimuti alam.
Selama ini tak seorang pun berani melanggar aturan tersebut karena konon sudah ada beberapa orang yang menerima akibatnya ketika nekat melewati Gua Lenggini pada malam hari. Mereka rata-rata menghilang selama beberapa hari sebelum akhirnya ditemukan tewas di kaki bukit. Tapi itu adalah cerita yang tidak begitu jelas kepastiannya.
Jantung Mundil berdetak semakin keras ketika ia tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di depan Gua Lenggini. “Sialan! Kenapa tidak ada jalan lain untuk naik ke lereng bukit ini?” gerutu Mundil kesal. Meski ia tak berhasil menenangkan deburan di dadanya, Mundil tetap mengayun langkahnya melewati gua tersebut.
Selangkah... dua langkah... tiga langkah...
Hening.
Kekhawatiran yang tadi sempat mewarnai perasaan Mundil mulai menyusut ketika ternyata ia bisa melewati bagian depan gua itu dengan aman. Bahkan saat jarak langkahnya dengan gua tersebut semakin jauh, Mundil sama sekali tak mengalami kejadian apapun. Senyum kelegaan perlahan terukir di bibir tuanya.
Tapi tiba-tiba, “Berhenti!”
Mundil tersentak. Secepat kilat ia menoleh berkeliling, memastikan arah datangnya suara serak tersebut. Namun belum sempat kepalanya berputar sempurna, sosok bertubuh bungkuk yang ditakuti itu telah berdiri tepat di belakangnya. Lenggini!
Mundil ternganga tak percaya. Dan sebelum ia bisa menatap sosok itu seutuhnya, dua bayangan lain telah berdiri di belakang Lenggini. Dua bayangan yang ukurannya jauh lebih tinggi dari Lenggini. Sungguh, Mundil sama sekali tak bisa mengenali seperti apa rupa ketiga makhluk di depannya itu karena gelap yang pekat, juga karena pakaian mereka yang hitam dan nyaris menutupi seluruh tubuh mereka.
Satu-satunya yang sempat tertangkap oleh mata Mundil adalah untaian rambut Lenggini yang panjang dan menutupi sebagian mukanya. Inilah pertama kalinya dalam hidup Mundil berhadapan langsung dengan perempuan tua itu. Perempuan yang diakui oleh penduduk di Buangan sebagai Peramal Hari-hari Buruk.
Dan ternyata, nyali Mundil tidak cukup besar untuk terus bertahan di atas kedua tungkainya, sebab tiba-tiba saja ia rubuh tak sadarkan diri. Benar rupanya, sosok Lenggini dan dua bayangan di belakangnya itu memang luar biasa mengerikan bagi penduduk di Buangan, termasuk bagi Mundil.
“Hei! Apa yang terjadi denganmu?” Sebuah tepukan menyadarkan Mundil dari tidur panjangnya. Ia agak terperanjat melihat Kasah yang berjongkok di sampingnya, terlebih ketika memandang ke sekelilingnya.. Kebingungan jelas sekali memantul di wajah lelaki itu.
“Kenapa aku ada di sini?” tanyanya sambil memijit kepalanya yang terasa pusing.