Dua Bidak Dalam Papan Catur

Cindy Chen
Chapter #1

Tak Ada Air Mata

Liuk dahan pohon kamboja dan dedaunannya yang rimbun tak memberikan teduh bagi Cynthia. Dia membetulkan letak topi hitam yang dia kenakan sambil menyipitkan matanya. Matahari bersinar terlalu cerah hari ini, seolah menegaskan suasana hatinya yang kontras dengan situasi yang dihadapinya. Matanya tertunduk melihat ke bawah, memperhatikan helai putih kelopak bunga kamboja jatuh dari tangkai pohon ke dalam liang lahat yang baru saja digali. Hari ini, mereka akan memakamkan ibu mereka yang baru meninggal dua hari lalu.

“Penguburannya mau dimulai. Pendeta udah siap,” ujar wanita yang sekarang berdiri di sampingnya.

“Kak, mereka bilang apa?” tanya Cynthia sambil melirik ke arah para kerabat yang hadir.

“Nggak penting. Yang penting abis ini kita balik ke kota masing-masing.”

Cynthia menghela napas mendengar kalimat bernada dingin dari mulut kakaknya itu. Memang aneh. Di pemakaman ibu kandung mereka, tidak ada satupun dari mereka yang menitikkan air mata. Bahkan, mereka baru tiba kemarin di kota kelahiran mereka, Kota Bandung. Kerabat dan saudara dekat membantu menyemayamkan ibu mereka di sebuah rumah duka sambil menunggu mereka datang. Cynthia tinggal di Singapura selama bertahun-tahun belakangan, sedangkan Jennifer menikah dan tinggal di Jakarta. Meskipun baru-baru ini Jennifer sudah bercerai, tetapi dia memilih tetap tinggal di Jakarta alih-alih kembali ke rumah ibunya. Ini kali pertama mereka bertemu kembali setelah bertahun-tahun.

“Apa mau dimulai sekarang?” tanya seorang petugas.

“Ya, dimulai sekarang saja,” jawab Jennifer.

Proses penguburan berlangsung dengan hening. Suara pendeta yang berkhotbah dan mendoakan hanya terdengar samar di telinga Cynthia. Hingga akhirnya kuburan itu sudah tertutup dan semua kerabat menaburkan bunga di atasnya. Cynthia tidak tahu harus berbuat apa, tidak mungkin dia memalsukan tangis, jadi dia hanya diam, menatap nisan yang berada di hadapannya. Cynthia membaca dalam hati nama yang tertulis di bawah tanda salib, nama yang selamanya menorehkan luka di hatinya: Fanny Setiawan. Kuburan baru itu tepat berada di samping kuburan lama milik ayah mereka, Ben Setiawan.

“Mama pasti benci kita,” ujar Cynthia pada Jennifer dengan suara setengah berbisik. Separuh karena dia takut ada yang mendengar, separuh lagi karena memang pita suaranya seperti tak ingin diajak bekerja sama.

“Itu udah pasti,” jawab Jennifer sambil menatap nisan.

Baru saja mereka merenung, tiba-tiba seorang wanita datang dengan langkah tegas. Bahkan langkahnya terdengar jelas di atas rumput lembut taman makam.

Lihat selengkapnya