“Kamu nggak usah mikirin itu, Cyn. Memangnya apa pentingnya? Mama udah meninggal, kita udah bebas. Itu aja yang penting. Abis ini juga kamu balik kabur ke Singapur, kan? Aku yang masih di Indonesia yang kena imbasnya. Untung saja beda kota, kalau enggak, pasti aku jadi bulan-bulanan mereka,” ujar Jennifer.
“Tapi, kak … Kita bener-bener nggak datang waktu mama sakit.”
“Cyn! Cukup, ya! Kamu ngilangin selera makan, tahu? Tante Rena, Tante Indah, sama om-om kita, semuanya sama aja! Mereka nggak akan pernah paham. Mereka cuma tahu mama kita orang yang keras. Watak orang dulu, katanya. Tapi mereka nggak tahu apa yang kita rasain!” seru Jennifer sambil menyuap makanan ke mulutnya dengan kasar.
Cynthia hanya diam, menyesap kopinya dengan perlahan. Dia mengecap pahitnya kopi, seolah itu bisa meredam apa yang berkecamuk di benaknya. Apa yang dikatakan Jennifer memang benar. Tidak ada yang mengerti mereka.
“Udah cepetan beresin makannya. Kita harus beres-beres. Banyak kerjaan,” kata Jennifer lagi sambil makan dengan cepat.
Cynthia menaruh cangkir kopi, lalu berusaha mengimbangi kecepatan makan kakaknya itu. Sesekali, Cynthia mencuri pandang ke arah telepon genggamnya. Alex, kekasihnya, sama sekali belum menghubunginya semenjak dia mendarat di Indonesia. Cynthia menghela napas. Mungkin kali ini Cynthia benar-benar akan bebas, tak ada ibu, tak ada juga kekasih.
Alat-alat makan berdenting ketika Jennifer selesai makan. Tanpa bicara, dari tatapannya saja, Cynthia sudah tahu bahwa Jennifer menyuruhnya cepat. Disumpalkannya makanan itu ke dalam mulutnya yang mungil, lalu dengan cepat Cynthia mengunyah dan menelannya. Seteguk kopi pahit membuat semua makanan itu meluncur turun ke lambungnya. Kopinya masih panas, tapi Cynthia tidak mengindahkan rasa terbakar di lidahnya. Sejak dulu selalu begitu. Jennifer menyuruh, Cynthia menurut.
Segera setelahnya, mereka sudah kembali berada di mobil. Jennifer sepertinya sudah tidak sabar ingin menyelesaikan semua ini, lalu kembali ke kehidupannya di Jakarta.
“Kak, Katty dan Kenny dititip sama siapa di Jakarta?” tanya Cynthia.
“Mas Rian.”
Dari jawabannya yang singkat itu, Cynthia sudah tahu itu tandanya dia tidak boleh bertanya lebih jauh. Cynthia sebetulnya tidak menyangka Mas Rian masih mau menjaga anak-anaknya setelah bercerai dari Jennifer. Mungkin itu sebabnya, Jennifer tidak ingin lama-lama, dia tidak tenang menitipkan kedua anaknya pada mantan suaminya itu. Besok dia ingin kembali ke Jakarta.
Dalam beberapa menit, rumah masa kecil mereka sudah terlihat di ujung jalan. Ban mobil berdecit ketika Jennifer memasukkan mobil ke halaman rumah yang cukup luas. Rumah ini masih bersih dan terawat, terlihat seperti rumah yang asri dan penuh kehangatan dari luar. Namun, kedua kakak beradik itu malah terpaku di depan pintu. Seolah membuka pintu depan rumah itu akan membuka semua memori masa lalu yang mereka ingin kubur dalam-dalam.
Cynthia menatap rumah mungil satu lantai bercat dinding putih itu lekat-lekat. Di sinilah semuanya dimulai. Tangannya terasa dingin, padahal udara di luar sangat cerah. Akhirnya, Jennifer yang memutar kunci pintu, lalu membuka pintu dengan cepat.
“Ayo!” serunya sambil menarik tangan Cynthia, masuk ke dalam rumah.