Pesta pernikahan yang sangat meriah biasanya melibatkan banyak tamu, dekorasi yang indah, dan berbagai macam hiburan. Biasanya, acara dimulai dengan prosesi pernikahan yang sakral, diikuti dengan resepsi yang penuh keceriaan. Ada musik, tari, dan kadang-kadang pertunjukan khusus, serta meja makan yang disajikan dengan hidangan lezat. Tidak lupa, ada sesi foto dengan pengantin, keluarga, dan teman-teman untuk mengabadikan momen spesial tersebut.
Setelah prosesi pernikahan yang penuh khidmat, para tamu mulai berkumpul di area resepsi yang telah dihias dengan tema yang elegan dan penuh warna. Meja panjang tertata rapi dengan bunga segar yang melambangkan keindahan dan cinta, sementara lampu gantung yang berkilauan menciptakan suasana yang romantis dan mewah. Musik live mengalun di latar belakang, memberi sentuhan magis pada setiap momen yang terjadi.
Satu per satu tamu mulai berdatangan, dengan senyum dan ucapan selamat yang menghangatkan hati pengantin. Makanan yang menggugah selera pun mulai disajikan, dengan hidangan istimewa yang dipilih dengan cermat oleh pasangan pengantin dan keluarga. Ada menu utama yang menggoda, dari masakan tradisional hingga hidangan internasional yang siap memanjakan lidah setiap tamu.
Suasana semakin meriah ketika pasangan pengantin melakukan tarian pertama mereka, dengan langkah yang anggun dan penuh kasih sayang. Semua mata tertuju pada mereka, menciptakan momen penuh kebahagiaan. Tamu-tamu yang hadir ikut bergembira, beberapa bahkan ikut bergoyang mengikuti irama musik yang mengalun.
Kemudian, ada sesi pemotongan kue pernikahan yang menjadi puncak acara. Kue yang tinggi dan dihias indah menjadi pusat perhatian, simbol manisnya perjalanan hidup bersama. Pengantin pria dan wanita saling memberi potongan pertama, disambut tepuk tangan meriah dari seluruh tamu. Setelah itu, kue dibagikan kepada semua yang hadir sebagai simbol kebahagiaan yang mereka harapkan.
Tidak ketinggalan, ada berbagai permainan dan aktivitas yang melibatkan para tamu, mulai dari foto booth kreatif hingga permainan interaktif yang memecah tawa dan menciptakan kenangan indah. Tamu-tamu pun mulai berfoto bersama, mengabadikan momen penuh sukacita tersebut.
Menjelang akhir acara, pengantin mengucapkan terima kasih kepada semua yang hadir, dan pesta diakhiri dengan acara pelepasan lampion atau kembang api yang menambah suasana magis. Cahaya lampion yang terbang ke angkasa seakan membawa doa dan harapan untuk masa depan yang cerah bagi pasangan yang baru saja bersatu.
Pesta pernikahan yang meriah ini bukan hanya sekadar sebuah acara, tetapi sebuah perayaan kehidupan, cinta, dan kebersamaan yang akan dikenang sepanjang hidup oleh pasangan pengantin dan semua yang hadir.
Yang masih bergema dalam tempurung kepalaku yaitu ketika suamiku ijab Kobul dengan penghulu. Dengan pandai dia menyebutkan nama untuk menjadikan itu sebagai jembatan gelar suami. Namun itu bukan namaku, melainkan nama wanita lain yang akan menjadi istri kedua suamiku.
Bagaimana dengan perasaanku? Tentu sangat rapuh, melihat suamiku menikah lagi dengan wanita lain. Aku ingat betul minggu lalu aku baru saja menjadi istri dari suamiku. Aku sangat bahagia sekali. Tapi sekarang berubah seketika. Hatiku sangat hancur, dan membeku.
Aku merasa seolah-olah dunia ini berputar terlalu cepat, membawa aku jauh dari kebahagiaan yang baru saja kucicipi. Setiap detik terasa begitu berat, dan aku merasa sepi meski aku dikelilingi banyak orang. Rasanya seperti ada kekosongan yang menganga, seolah ada bagian dari diriku yang hilang.
Aku bertanya-tanya apa yang salah dengan diriku, apa yang kurang sehingga dia memilih untuk berpaling. Apakah aku tidak cukup baik untuknya? Apakah aku terlalu egois, terlalu lemah, atau terlalu terikat pada impian-impian kita bersama yang kini hanyalah bayangan?
Tapi meski perasaan itu menyiksa, ada juga rasa marah yang menggelegak di dalam dada. Marah pada diriku sendiri yang tidak bisa melihat tanda-tanda sejak awal, marah pada dirinya yang telah mengkhianatiku dengan cara yang begitu kejam. Aku ingin berteriak, mengungkapkan semuanya, tapi yang bisa kulakukan hanyalah menangis dalam diam, mengunci perasaan ini di dalam diriku.
Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku merasa sangat tersesat, tak tahu harus kemana. Namun, aku tahu satu hal—perjalanan ini akan mengajarkan banyak hal. Entah untuk kebahagiaan yang baru, atau mungkin untuk menemukan kedamaian dalam hatiku yang retak ini.
Apakah karena mertuaku terlalu berekspektasi terhadap diriku? Namun ternyata tidak seindah yang diharapkan. Sangat terasa oleh diriku, mertuaku sangat bersikap tak suka padaku. Mungkin karena aku dari kalangan yang kurang mampu? Atau aku tidak sempurna?
Setiap kali aku bertemu dengan mereka, aku merasa seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, sebuah jurang pemisah yang semakin lebar. Aku mencoba untuk menjadi yang terbaik, berusaha menyenangkan mereka, tapi tak pernah ada rasa diterima sepenuhnya. Apakah aku terlalu berharap? Mungkin saja. Tapi bagaimana bisa aku tidak merasakannya, ketika pandangan mereka seolah menghakimi segala kekuranganku?
Aku sering bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka berharap aku menjadi orang lain? Seseorang yang lebih sesuai dengan gambaran ideal mereka tentang menantu? Atau apakah aku hanya terlalu terfokus pada apa yang mereka pikirkan, sampai akhirnya itu merusak perasaanku sendiri?
Aku merasa seperti ada beban berat yang harus kupikul, yang seolah-olah datang dari segala arah—dari harapan suamiku, dari keluarga, dari diriku sendiri. Mungkin, memang aku tidak sempurna. Aku tak bisa menutupi segala kekuranganku, tapi bukankah seharusnya cinta menerima segala ketidaksempurnaan itu? Mengapa harus ada standar yang begitu tinggi untuk diterima sebagai bagian dari keluarga ini?
Namun, di tengah semua perasaan itu, aku mencoba untuk bertahan. Mencari tahu apa yang sebenarnya penting, apakah penerimaan dari mereka benar-benar menentukan kebahagiaan kita, atau justru yang lebih penting adalah bagaimana aku menerima diri sendiri, meski dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada.
Semenjak saat itu, aku menjadi dingin, bahkan aku belum disentuh oleh suamiku. Bahkan aku tak sudi untuk melayaninya. Setiap kali dia mendekat, aku merasa ada tembok tebal yang terbentuk di antara kami. Bukan hanya tembok fisik, tetapi juga tembok perasaan yang perlahan-lahan menghalangi setiap kontak yang dulu kami punya. Aku merasa terasing dalam rumahku sendiri, dan setiap kehadirannya hanya membuatku merasa semakin jauh.
Entah kenapa, rasa kecewa dan sakit hati itu begitu mendalam, sampai aku merasa tak ada lagi ruang untuknya dalam hidupku. Aku merasa seperti kehilangan diri sendiri, dan semakin dia mencoba mendekat, semakin aku menarik diri. Ada luka yang begitu dalam, luka yang mungkin tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi cukup terasa di setiap detak jantungku yang semakin berat.
Aku tahu mungkin dia bingung, merasa diabaikan, tapi bagaimana bisa aku memberikan sesuatu yang aku sendiri tak punya? Perasaanku sudah terkikis habis, dan aku merasa seperti hidup dalam bayang-bayang perasaan yang hampa. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan padanya, tapi setiap kali aku mencoba, aku justru terdiam. Perasaan ini terlalu rumit untuk diungkapkan.
Aku merasa kehilangan kehangatan yang dulu ada, dan semakin hari, semakin aku merasa semakin terperangkap dalam rasa sakit yang tak kunjung hilang. Bagaimana bisa aku melanjutkan hubungan ini, ketika hatiku sudah beku, bahkan untuk memberinya sedikit perhatian? Tapi apakah ini yang aku inginkan? Mungkin aku belum siap untuk memaafkan, atau mungkin aku memang sudah lelah dengan semuanya.
“Sayang...masak apa hari ini.” Ujar Aakash, suamiku. Panggilan itu untuk istri keduanya, Karina. Mereka bermesraan di sampingku. Namun, aku sudah mati rasa . Aku memandang mereka berdua, tubuh Karina yang menyentuh Aakash dengan cara yang membuatku merasa seperti hanya bayangan di ruang ini. Mereka berbicara dengan lembut, saling berbagi canda yang dulu juga pernah menjadi milikku. Dulu, aku juga pernah merasakan hangatnya perhatian dan kasih sayang yang Aakash berikan. Tapi semuanya berubah seiring waktu.
Aku mengalihkan pandanganku ke jendela, melihat langit yang perlahan memerah. Cuaca masih hangat, namun hatiku terasa dingin. Aku tidak tahu kapan aku mulai terbiasa dengan kenyataan ini—kenyataan bahwa aku hanya menjadi bagian dari cerita yang sudah tidak lagi aku kenal. Lalu aku melanjutkan mencuci sayuran untuk dimasak.
Aakash mendekatiku, setelah Karina pergi ke belakang. Aku bisa merasakan nafasnya di tengkukku. Aku mulai menghindar darinya. Namun, dia terus mengikutiku.
“Aku ingin bermalam denganmu.” Ujarnya, sambil menatapku lebih dalam. aku tidak tau perasaannya padaku. Apakah dia benar-benar mencintaiku? Tapi, jika itu benar, dia tidak akan mencintai wanita yang lain.
“Sibuk.” Jawabku dengan pendek, lalu mengindar darinya, melanjutkan pekerjaanku di dapur. Yang membuat aneh itu kenapa dia tersenyum walaupun aku tolak beberapa kali. Aku tidak mengerti.
Suasana makan malam terasa hening, hanya terdengar suara sendok yang menggesek piring dan aroma makanan yang memenuhi ruang makan. Aakash duduk di ujung meja, dengan Karina di sampingnya, sementara aku duduk di sisi yang lain, terpisah dari mereka. Hidangan yang kubuat tampak sempurna, seperti biasa—tapi kali ini, rasanya hambar. Tidak ada lagi kebanggaan dalam memasak untuknya, tidak ada rasa cinta yang mengalir dalam setiap bahan yang aku pilih dengan teliti.
Karina menyendokkan nasi ke piring Aakash, senyumnya tetap terjaga meskipun di antara kami, udara tegang begitu terasa. Dia memandangku sesekali, mungkin berharap aku akan ikut berbicara atau tersenyum. Namun, aku hanya menunduk, menatap makananku dengan kosong.
“Ada yang kurang, sayang?” Aakash melihatku. Aku hanya menggeleng pelan. Tidak ada yang bisa kutambah atau kurangi dalam perasaan ini. Aku sudah terbiasa menjadi yang terlupakan, yang terpinggirkan. Mungkin ini yang disebut ketahanan, atau mungkin justru kebiasaan buruk yang mengakar terlalu dalam.
Karina, yang tampaknya lebih peka terhadap suasana, mencoba mengalihkan percakapan. “Aakash, bagaimana pekerjaanmu hari ini? Ada yang baru?”
Aakash mengangguk, lalu menceritakan sedikit tentang proyek yang sedang dia tangani, namun nada suaranya tidak memiliki semangat. Karina mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya berbinar, sementara aku hanya duduk mendengarkan tanpa benar-benar mendengar. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka terasa semakin menjauhkan aku dari kenyataan yang pernah ada.
Makanan kami selesai perlahan, dan meja makan pun terasa semakin sunyi. Karina mengangkat piringnya, tersenyum pada Aakash, lalu mengalihkan pandangannya padaku. Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi, tidak tahu harus berkata apa.
Setelah makan malam selesai, Aakash dan Karina beranjak pergi, meninggalkanku duduk di meja, termenung. Ada perasaan sepi yang meluap, namun aku tidak bisa menangis lagi. Rasanya seperti bagian dari diriku yang sudah lama hilang, tak pernah kembali.
Pancaran matahari pagi itu menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang sebelumnya terhimpit dalam kegelapan. Sinar hangat itu menembus pelupuk mataku, membuatku sedikit terbangun, meskipun aku merasa lelah—lelah bukan hanya karena tubuh, tetapi juga karena hati yang terus-menerus tertekan. Aku membuka mata perlahan, mencoba mengusir rasa sesak yang mengendap.
Pagi ini terasa sama, namun aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Udara pagi yang seharusnya memberi rasa segar malah terasa seperti beban. Aku menatap langit biru yang tampak begitu damai di luar jendela, tetapi entah mengapa kedamaian itu tidak bisa mengalir ke dalam diriku.
Di sampingku, ruang yang biasanya dipenuhi dengan kehangatan, kini terasa hampa. Tempat tidur ini tak lagi menjadi tempat yang nyaman, melainkan sekadar tempat aku berbaring dengan pikiran yang berlarian. Aku menarik selimut sedikit lebih erat, mencoba mencari kenyamanan yang sudah lama hilang.
Suara langkah kaki terdengar dari luar, aku tahu itu adalah Karina. Mungkin dia akan datang ke kamar sebentar, atau mungkin Aakash yang akan memanggilku untuk sarapan. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti ada jarak yang tak terlihat, jarak yang semakin lebar, meskipun kami masih berbagi rumah yang sama.
Aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke jendela, menarik tirai sepenuhnya, membiarkan sinar matahari masuk dengan leluasa. Dunia di luar tampak cerah, namun di dalam hatiku, awan gelap masih terus menggantung. Mungkin hari ini aku akan mencoba untuk melangkah keluar dari bayang-bayang kesedihan ini, meskipun aku tak yakin bagaimana caranya.
Aku hanya ingin tahu apakah ada harapan yang bisa kutemukan di luar sana, atau apakah aku akan terus terjebak dalam kebisuan yang terus menyakitkan ini.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri dan berjalan perlahan menuju pintu. Setiap langkah terasa berat, seolah tubuhku ingin tetap berada di bawah selimut, terlindungi dari dunia luar yang terasa semakin menekan. Ketukan itu semakin keras, dan meskipun aku ingin mengabaikannya, suara itu memaksaku untuk bergerak.
Aku terdiam sejenak melihat Aakash berdiri tepat di hadapanku. Kameja putih yang dia kenakan tampak sempurna, seperti biasanya, rapi dan tanpa cela. Seperti Aakash yang selalu tampak teratur, terkendali, dan penuh dengan ketegasan. Tapi entah kenapa, kali ini aku hanya melihatnya sebagai seseorang yang sangat asing—seperti bayangan dari masa lalu yang kini hanya ada di dalam ingatan.