Dua Bunga

JI
Chapter #2

PERGI JALAN-JALAN

“Hari ini antar aku membeli barang.” Ujar Aakash. Sambil memutar-mutar kunci mobilnya.

“Kenapa harus bersamaku, ajak saja Karina. Dia pasti akan senang jika diajak ke luar olehmu.” Jawabku sambil memoleskan perona pipi. Aakash diam sejenak, entah apa yang sedang dipikirkannya itu. Aku takut dia melakukan ide yang gila lagi. 

“Kalau kamu mau aku ke luar bersama Karina, kamu harus layani aku. kalau kamu tidak mau, kamu harus menemaniku.” Ujarnya sambil tersenyum nakal. Aku berpikir sejenak. Daripada aku harus melayani pria sampah ini, lebih baik aku menemaninya saja. Semoga saja tidak memakan waktu yang lama, sekadar membeli sebuah barang.

“Baiklah. Aku akan menemanimu.” Ujarku sambil mengela nafas panjang. Pria itu hanya tersenyum. Mungkin dia senang melihat permainannya kali ini menang. Aku dan Aakash berjalan menuruni tangga.

“Mau ke mana?” Tanya Karina. Aku tidak menjawab, biarkan pria di sebelahku ini yang menjawab pertanyaan Karina. 

“Mau ke luar. Membeli beberapa barang.” 

“Kok sama dia, Kamu gak ngajak Aku.” Ujarnya dengan kesal. 

“Kamu sering ke luar bersamaku. Sekarang giliran.” 

“Kalo kamu mau, silahkan. Biar aku saja yang mengalah.” Ujarku sambil tersenyum, lalu membalikan tubuh dan mulai melangkah untuk kembali ke kamarku. 

“Ingat perjanjian yang tadi.” Ujar Aakash mengingatkan perjanjian yang tadi. Hampir saja aku lupa. Karena aku tidak mau melayani Aakash, aku melahkahkan kaki kembali ke tempat semula. 

“Jangan kesal begitu. Aku harus adil, kamu juga harus mengerti. Aku berangkat dulu.” Ujar Aakash sambil mencium kening Karina. Aku membuntuti dari belakang. 

Di dalam mobil, suasana terasa begitu berat, seolah setiap detik berjalan lambat. Aku hanya menatap jendela, memikirkan semuanya yang baru saja terjadi. Kata-kata yang belum sempat terucap, perasaan yang belum sepenuhnya bisa kuterima. Aakash ada di sampingku, tapi rasanya dia begitu jauh. Keheningan antara kami seolah semakin menganga, tak ada yang bisa mengisi celah itu.

Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang menguasai pikiranku. Namun, semakin aku mencoba mengusirnya, semakin keras rasa sakit itu datang. Setiap kata yang ingin aku lontarkan terasa seolah berat, tak bisa keluar. Mungkin karena aku tahu, tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengubah apapun.

Di dalam keheningan itu, aku bertanya-tanya, apakah ini memang yang terbaik untukku? Meninggalkan segalanya yang pernah aku percayai, berusaha untuk melupakan Aakash meski itu terasa mustahil. Tapi entah berapa lama aku bisa bertahan dalam keadaan ini—sebagai wanita yang terluka, yang merasa tak dihargai, yang ditinggalkan begitu saja.

Akhirnya, aku hanya menatap jalanan yang terus melaju, berharap waktu bisa sedikit lebih cepat berlalu. 

Lihat selengkapnya