Aku terbangun dengan dada sesak dan napas tercekat. Masih terasa nyata… mimpi itu. Di dalam gelap malam yang sepi, aku melihat Ibu, berdiri jauh, tersenyum dalam cahaya redup yang tak bisa kugapai. Suaranya samar, seperti desir angin yang hanya bisa kurasa, tapi tak bisa kudengar jelas.
Dalam mimpi itu, Ibu terbaring diam. Wajahnya tenang, terlalu tenang… seperti orang yang sudah selesai dengan dunia. Aku berlari padanya, memanggil-manggil, berharap semua itu hanya ilusi yang bisa kuusir dengan pelukan. Tapi dunia dalam mimpiku tak memberi ruang untuk keajaiban. Ibu tetap diam. Hangat tubuhnya sudah tiada. Dan aku hanya bisa menangis, memohon agar ia membuka mata dan berkata, “Ini hanya lelucon, Nak.”
Tapi tidak. Mimpi itu begitu dingin dan nyata. Aku menangis sampai terbangun dan saat membuka mata, air mataku masih mengalir. Hening kamar seolah mengingatkanku betapa takutnya aku kehilangan. Betapa dalam cinta ini, hingga mimpi tentang kepergiannya saja bisa membuatku runtuh.
Aku duduk, menggenggam udara, seolah masih bisa menggenggam tangannya. Mimpi itu mungkin hanya bunga tidur… tapi perihnya menusuk hingga ke tulang jiwa. Dan aku hanya bisa berdoa, semoga Tuhan masih memberiku waktu lebih banyak waktu untuk mencintai dan dijaga olehnya di dunianya.
“Apa yang kamu pikirkan?” Ujar Aakash. Aku hanya menggelengkan kepala, lalu melanjutkan menyantap makanan. Semenjak semalam, hatiku sangat tidak nyaman. Aku kepikiran Ibu. Apakah dia baik-baik saja? Atau apa yang aku rasakan itu benar. Seharusnya Aku membelikan ibu Hp, biar aku bisa mengecek keadaan di rumah.
“Karina ke mana?” Ujarku, sambil menatapnya.
"Ke rumah Mamah." Aku hanya bisa tersenyum hambar mendengarnya. Karina selalu dicari, dirindukan, disayangi. Sementara aku? Menatapku saja mertuaku seakan tak sudi. Seolah kehadiranku hanya beban yang tak diinginkan.
Apa aku sebegitu buruknya? Apa salahku sampai bahkan kasih sayang pun tak layak kudapatkan.
“Bolehkan Aku meminta sesuatu?” Aku memberanikan diri untuk meminta sesuatu kepadanya, walaupun terpaksa.
“Iya, sayang.” ujarnya sambil tersenyum manis.
“Apakah Aku boleh meminjam mobil untuk beberapa hari? Aku ingin menengok Ibu. Semalam aku bermimpi Ibu sakit. Aku kepikiran. Kamu boleh meminta apapun dariku termasuk melayanimu.”
“Aku mohon, Aakash. Hanya beberapa hari aku meminjam mobil. Jika naik tidak berkenan, Aku naik angkutan umum saja.” Aakash menatapku lebih dalam. Entah apa yang dia pikirkan.
“Naik ke atas sekarang!” ujarnya, sambil menuangkan air ke dalam gelas. Aku langsung menurutinya, agar cepat bisa ketemu Ibu. Hatiku tidak karuan. Aku takut jika Aakash akan menyentuhku lagi, tapi mau bagaimana lagi, Aku sudah berjanji kepadanya.