DUA CINCIN SEGALA SEMESTA

Muhammad Hamdan Mukafi (Emhaf)
Chapter #2

ASTANA GRHA

ASTANA GRHA

“Burung Kenari yang mengantar pada titik-titik burung lainnya”

“Pak Tedjo!!! Sudah berapa buku yang kau lahap di perpustakaanku?”

“Masya’Allah… edyan Sampeyan Kang… kekar begini sekarang! Udah kayak petualang aja!”

Lelaki ini berdiri di depanku. Sudah sekian lama sejak aku tak melihatnya. Barisan rambut telah melebat di wajahnya. Rambut panjangnya yang dikuncir kuda, melengkung menyentuh lehernya, hampir-hampir aku mengiranya sebagai Tuan Arkaan. Sementara telah melebat godek-nya, menyambung rambut hingga dagunya. Kumis yang bergaris tajam-tajam hampir menutup garis bibir atasnya. Hanya karena itu, juga tingginya yang membuat Tuan Arkaan hanya nampak sematanya, yang membuatku kembali mengenalinya. Sebab, jika hanya suara saja, aku hampir tak bisa membedakan mereka.

Iya, dia datang dengan pakaian safari yang masih menyisakan bercak-bercak tanah di bajunya.Tas kulit melingkarkan pelukan di bahu hingga pinggangnya. Ingatanku melayang pada bertahun yang lalu. Sempat, aku beberapa kali diajaknya ke Kalimantan dan ke Sumatra untuk mencari artefak-artefak yang masih saja belum bisa ditemukan Tuan Arkaan. Darinya pulalah, cukup banyak benda menarik di House of Quotes, yang telah menghitam ini, bisa tersusun menyajikan misteri. Jika boleh, aku ingin menyebut mereka matahari dan bulan. Namun, masih bingung juga aku, siapa yang matahari dan siapa yang bulan. Sebab, mereka seperti cahaya yang berbeda warna namun saling bertabrakan dan mengisi, mencampur, warna yang baru pun terlahir kemudian.

“Maafkan aku Kang… bahkan perpustakaan yang Sampeyan titipkan padaku itu tak sanggup kulindungi. Tapi… masih ada 1 yang di bawah Astana Grha Kang…!”

“Baguslah! Setidaknya yang satu itu masih terselamatkan! Dan, jangan minta maaf Pak Tedjo! Tak ada yang mau kejadian seperti ini menimpa House of Quotes! Yah, sangat disayangkan memang, apa yang Mas Kala ceritakan padaku semenjak Madrasah dulu, kini sudah bersisa sebagai abu-abu dan puing-puing menghitam!”

“Oh ya Kang… tadi subuh Nyonya Kirana dan Nona Alya baru saja dari sini!”

“Sudah kuduga mereka akan datang! Tak ada selain mereka yang lebih bisa merasakan kejanggalan ini. Sekarang di mana mereka? Apa di rumah boutique Mbak Kirana?”

“Seperti biasanya! Kau langsung tahu saja ya Kang!”

“Terima kasih Pak Tedjo… Sepertinya, kita akan segera membutuhkan peta dan globe yang besar! Katakan saja maghrib nanti, aku, Mbak Kirana, dan Alya akan kemari lagi! Tolong kedua benda itu disiapkan ya! Masih ingat tempat penyimpanannya kan?”

“Tentu saja Kang! Semua sudah kuhafal sampai mengakar!”

Sebuah senyum yang membuat cahaya matahari memantul, bersilau dari barisan giginya ia lemparkan padaku. Sembari mengepalkan tangan kokoh yang ia arahkan tepat di depan dadaku. Juga, tatapan membara api yang penuh dengan hasrat pada petualangan-petualangan. Ia berkata, lantang sembari melangkah pergi, “Kita pasti akan menemukan Mas Kala dan mengembalikan House of Quotes seperti sediakala!”

***

Aku selalu saja bisa mengenali suara langkah kaki dari orang-orang yang kukenal. Hentakan setapak demi setapak dari sepatu bot dengan lapisan karet yang biasanya gelap, coklat atau hitam, berketepak seperti langkah tapal kuda membentur pafing-pafing rumah boutiqueIbu. Sementara Ibu masih kelelahan dan terbaring di kamarnya, aku yang terdiam di sofa menyalakan televisi, menunggu bangunnya, mendengar suara langkah kaki itu semakin dekat.

Tok… Tok… Tok…

“Assalamualaikum… Mbak Kirana… Alya…”

Suara itu terdengar sangat berat, tidak seperti tujuh tahun lalu, sepeninggalku dan Ibu pergi dari Jogja. Namun, aku tetap bisa mengenali warna suara itu. Suara dari wujud lain yang serupa Papa Arkaan. Suara yang memberikan secercah harapan. Suara yang menunjukkan kemantapan, yang seolah berkata kepadaku “Aku tahu di mana Arkaan Kalantara berada” di hadapan televisi dan tidak lagi mendengar suara-suara iklan dan realiti show murahan di dalamnya.

Waktu yang seperti berdetak lambat, tapi sebenarnya hanya berjalan lebih cepat dari biasanya. Aku bangkit dari sofa. Aku melangkah mantap setengah berlari. Cairan kemilauan terasa basah menyelimuti bola mataku. Air bening yang tertahan di kelopak mata dan enggan untuk melebihinya. Melihat mata lelaki tegap di hadapanku yang berapi-api. Senyum simpul dan kedipan yang menunjukkan keyakinan. Sebuah jalan buntu yang menunggu untuk segera didobrak.

“Mas Kahlil!”

“Woh… sudah semakin cantik aja kamu Alya! Fahmi nggak ikut ke Jogja?”

“Enggak Mas! Mas Fahmi masih ada urusan di BIN!”

“Yah… untuk saat ini memang melibatkan Fahmi akan sangat merepotkan! Tapi, nanti kita akan butuh bantuannya. Itu pasti!”

“Maksudnya Mas?”

“Emmm… kalau bisa sih lebih enak kujelasin langsung sama Mbak Kirana sekalian. Dan, aku mau mandi dulu. Hahahaha… apa Kamu nggak merasakan kecutnya bauku Alya? Hahahaha…”

“Mas Kahlil tuh memang nggak bisa ditebak ya… datang-datang dengan muka sangat serius, tiba-tiba pengen mandi dan ngakak-ngakak… hmmm… Ibu masih tidur e Mas… yowes mandi dulu sana!”

**

Letika aku terbangun dengan mata sayuku. Berat melangkah sebab bekas-bekas tetesan air mata yang semalam lalu membasah membengkakkan kelopak mataku. Televisi menyala, namun tidak kutemui sosok Alya. “Alya… Alya… Alya…” panggilku berkali-kali. Namun, tak juga suaraku dibalas namanya, justru kudengar kran shower sedang menyala. Rentetan air menyiram setubuh yang samar-samar di kamar mandi ruang tamu. Asap sublim dingin keluar dari celah-celah lubang bergaris di bawah pintu kamar mandi. Drit… drit… clek-clek… kran diputarnya berderit menghentikan suara air. “Alya… tumben kamu mandi di ruang tamu!!! Nggak mandi di kamarmu aja?”

Di situlah kudengar langkah kaki berat. Berkecipak di basahnya air yang belum mengering di lantai kamar mandi. Itu bukan suara langkah kaki Alya. Atau, Alya memang sengaja menghentak dengan berat. Pelan-pelan pintu kamar mandi terbuka. Muncullah sosok itu, yang lama sudah tak kujumpai selain ketika ia di Sumatra, selain di mana Fahmi meminang Alya, selain masa-masa mudanya, di awal-awal proses berdirinya House of Quotes. Berkaus putih, bercelana pendek coklat sepanjang telunjuk di atas lutut. Kukucek-kucek mataku, masih tak percaya siapa yang berada di depanku.

“Yoha… Mbak Kirana!!!”

Kriek… Kriek… ah, suaranya memang sangat mirip dengan Arkaan. Dan, Alya membuka pintu, mengendap, melihatku yang mengucek-ngucek mata di depan sosok lelaki tinggi itu.

“Ibu… Mas Kahlil Bu…! Sudah semakin kelihatan jantan ya!”

“Alya… jangan lupa sama Fahmi woe!!! Dan Kahlil, kamu juga pulang nggak bawa Naya sih!”

“Ternyata kalian berdua tak berubah ya… Emmm… kami adalah dua pilar kuil yang terpisah[1] Mbak! Naya sedang menyelesaikan S2-nya di Perancis! Sambil aku ngasih tugas juga sih ke dia buat bantuin kita.” ucapnya sembari mengikat rambut panjangnya, menguncir-kuda, berayun di leher yang berbatasan dengan punggungnya. “Ada makanan yang bisa membuatku berpikir nggak Mbak Kirana!” ucapnya lagi sembari senyum yang menebarkan gigi-giginya itu. Tangan kanannya memegang perut sembari mengelusnya memutar-mutar.

“Kahlil… Kahlil… tumben, remaja yang dulu kukenal jarang makan, lebih suka ciki-ciki-an ini bisa kelaparan!”

“Lagi bosan sama dedaunan di hutan Amazon Mbak…!!!”

“Kebetulan Mas Kahlil… aku habis beli donat ini di toko roti seberang! Makan ini aja dulu sembari nunggu ibu selesai masak!”

“Woe… Woe…!!! Kalian berdua kok sekongkol!”

“Ayolah Mbak Kirana!!! Sebelum nanti kita tak akan nafsu makan lagi kalau aku sudah bercerita nanti!” tatapannya menunjukkan kelicikan, sekaligus kepastian yang mengatakan bahwa ia tahu di mana Arkaan. Katanya lagi, “Mas Kala… dia sebenarnya selalu di sekitar kita!”

Detak-detik seolah membeku. Udara yang berhembus mengeluarkan suara siulan dari setiap lubang di rumahku. Cericit burung dan kepakan sayap-sayap kecil berhamburan di pepohonan depan rumahku. Daun-daun hijau tak lagi mau menunggu kemuningnya untuk menjatuhkan diri di tanah, menjadi serbuk penyubur, peng-hara, menghidupi bersama aliran sungai sejari yang panjang, bercabang-cabang, menghubungkan setiap kehidupan di bawah tanah yang tak terlihat. Bergantian tatapan mata kami saling menyambut. Dan, bergeraklah kami dalam ketenangan. Kahlil yang duduk bercengkrama dengan Alya di teras depan. Aku yang di dapur dengan suara minyak menyambut rasa lapar yang tertahan.

***

Aku masih mengingat gerak kakakku itu. Ketika ia dalam kebuntuan ia akan menuju sebuah hamparan, yang luas tanpa manusia, atau yang riuh oleh keramaian manusia. Di situ, ia akan membentangkan tangan, memejamkan mata, menarik-menghembuskan napas dan berkata, “Kita sedang dikelilingi oleh guratan data yang begitu banyak. Kita selalu saja terkurung dalam acuan-acuan dalam buku. Padahal, di sini, kita bisa menjadi pusat pengetahuan sesuka kita. Rasakanlah! Setiap gerak, setiap napas, setiap suara, dan gambarkan setiap pola bangunan di sekitarnya!”. Dasar, kalau dulu kau tak mulai mengajakku untuk membaca buku-buku berat di kelas 5 Madrasah, mungkin aku tak akan pernah mengenalimu.

Di sini, di jalanan yang masih tak banyak berubah. Susunan pertokoan yang menjaga bangunan kolonial. Yang katanya adalah sebuah bentuk penjagaan sejarah, atau sebegitunya tidak ingin menghilangkan kenangan perbudakan. Bangunan-bangunan menjadi tanda-tanda yang memberikan tamparan setiap hari. Atau, hanya sekedar malas saja mengganti simbol-simbol kolonial itu dengan yang beretnis Indonesia. Sebab merasa tak seadiluhung mereka? Sebab tak punya gaya arsitektur kokoh seperti mereka? Atau, hanya karena tak mau mengeluarkan uang untuk membangun? Ah, bukan itu yang ingin kucari di sini.

Di depan supermarket besar yang mengambil nama sepanjang jalan ini. Di antara barisan bangku taman yang meletakkan dirinya di bahu jalanan ramai menjelang terik. Sudah ratusan kaki memenuhi trotoar. Sudah mulai riuh dengan rentetan dialog hibrida. Orang-orang berbagai rupa warna kulit, juga warna bahasa, sudah mengisi kekosongan yang biasanya datang di penghujung dini hari sampai sesudah subuh.

“Jawaban apa yang bisa kita temukan di sini Kahlil?”

“Di sini dan di mall itu Mbak Kir!”

“Emmm… aku masih nggak mudeng Mas!”

“Yah… kita tidak sedang mencari jawaban secara langsung sih! Cuma, kalian ingat nggak tempat-tempat apa yang selalu didatangi Mas Kala ketika ia sedang mencari inspirasi?” kulihat Alya dan Mbak Kirana berpandangan, dan senyum itu pun menjawab pertanyaanku.

“Apa Arkaan juga menyembunyikan barang semacam ini di sini?” Mbak Kirana menunjukkan sebuah jam saku berwarna emas – gaya Roskopf – kepadaku. Yah, aku sangat mengenal jam itu. Sebuah jam saku yang tak pernah lepas dari tangan Mas Kala, atau setidaknya akan terantai di garis ikat pinggangnya dan bersembunyi di balik saku celananya.

“Mungkin saja… tapi sebenarnya tujuan utamaku mengajak kalian ke sini bukan itu!”

“Mas Kahlil muter-muter deh ngomongnya!” aku tak melihat sosok seorang perempuan yang sudah menikah di depanku ini. Aku sempat kaget ketika Alya di usianya yang masih 19 tahun memutuskan untuk menikah. Aku pun tak heran jika ke-puber-annya belum juga mendewasaknnya.

“Alya… apakah kau lupa seberapa rumitnya otak’e Mas Kala?” dan ia memandangku tajam, mengangguk dan tersenyum satir. “Aku hanya khawatir keberadaan kita di Jogja sudah diketahui media atau mungkin intelijen juga sudah mengikuti gerak-gerik kita. Bagaimanapun, kedatangan kita bertiga yang mendadak ke Jogja dalam dua hari ini tidak mungkin dibiarkan begitu saja oleh siapapun yang sedang mencari Mas Kala. Dan, dengan berada di keramaian seperti Malioboro ini, nanti kita juga akan masuk ke beberapa mall sambil berbelanja, adalah untuk menyamarkan setiap pembicaraan kita, membuat noise pada setiap penyadap. Kita tetap akan membuat mereka mendengar apa yang kita bicarakan, tetapi kita akan membuat mereka berpikir berkali lipat untuk menemukan inti dari pembicaraan kita. Dan, aku juga sudah membawa ini.” Kutunjukkan pada mereka sebuah tongkat besi berganggang karet yang bergetar-getar, mengeluarkan bunyi ngik-ngik-ngik, dan bernyala-nyala merah dari lampu LED kecil di ujung besinya.

“Aku tuh nggak habis pikir sama bentukan kalian berdua. Entah Arkaan, ataupun dirimu selalu saja bisa menggambarkan langkah di atas langkah!”

“Ah enggak Mbak… Mas Kala nggak pernah menang catur denganku. Dan, aku menjadi penghapus kecerobohannya. Cuma, untuk berpikir melebihi nalar dia jagonya.”

Kami pun berjalan. Masuk ke dalam mall Malioboro mengikuti puluhan langkah kaki yang sedang menebarkan mata ke segala arah, mencari tujuan di dalam sini. Dan, seperti sedang kalap kedua perempuan di depanku ini pun langsung berhamburan ketika melihat sebuah bazar pakaian di selasar mall. “Kita jangan berjauhan ya… kita memang perlu berperilaku normal sebagaimana profesi kita. Tetapi, kalau ada apa-apa langsung misscall! Aku akan selalu berada di dekat kalian tanpa membuat kecurigaan. Yah… aku juga tadi melihat barisan jam tangan kayu yang bagus… hahahaha…!”

Aku berdiri di pusat bazar, melemparkan mata ke segala arah, meletakkan telinga ke segala tempat – berusaha menangkap suara sekenanya. Jika berada di sini, apa yang akan kau lihat Mas? Jika berada di sini apa yang akan kau cari? Apakah roti di bar berwarna coklat-kuning itu? Apakah Ice-cream yang katamu serasa susu dancow itu? Apa segelas kopi dari para penjual asongan yang berbaris di depan mall ini? Apa yang akan kau katakan di sini Mas? Bukan. Bukan semua pertanyaan itu. Tapi…  apa yang pernah kau katakan di sini!

Aku mencoba mengambil kenang-kenangan setiap kedatanganku ke Jogja dari masa kecilku, saat aku harus menangis meninggalkan Mas Kala yang baru saja berkuliah di UGM. Saat aku selalu menginginkan kepulangannya, namun lebih dari itu, aku ingin menyusulnya dan berkuliah di sini juga. Hingga pada kenang-kenangan SMP-ku, lima hari menjelajahi kota Jogja, yang ternyata adalah jembatan untuk megetahui kedalaman pemikirannya. Manusia aneh satu itu.

Kulihat barisan lampu kota di depan pintu masuk yang samar-samar tertutup oleh yang berlalu-lalang. Lelehan-lelehan es krim vanila yang hendak membasah di lantai, namun berhenti di jilatan lidah seorang anak kecil. Sementara ibunya yang sudah bermuka masam, takut lelehan es krim itu mengotori baju sekolah anaknya, menghapus belepotan di sebaris bibir perempuan kecil yang menggandeng di tangan kirinya. Ponsel-ponsel mengalihkan mata dari jalanan ke atas layar berpendar. Angin berhembus ringan menyelusup celah-celah langkah kaki setiap manusia. Suara-suara penjual di bazar yang saling bertabrakan. Dan, aku pun mengingat malam itu. Iya, malam pertama di lima hari yang membuatku semakin terikat dengan Jogja. Aku mulai mengingat, di penghujung Isya’ sebelum aku pulang untuk kembali lagi dua hari kemudian, ia berkata kepadaku.

“Aku tahu saat ini kau sangat ingin memulai petualangan Lil! Namun, jika kau sudah merasakan petualangan nanti, pahit-manis dan segala rintangannya itu, seperti di usiaku kini, yang meski masih belum genap seperempat abad, dari garam-masam yang kurasakan, aku selalu merindu untuk pulang. Pulang, pada rumah yang kukenal bertahun silam, saat barisan kegetiran belum menampari wajahku. Yah, jika saja aku bisa mengulang waktu! Atau setidaknya, makna yang tercatat padanya.”

“AAAAAAAAAAAA….”

Teriakan itu menghentikan gerak roda film lawas yang memutar roda ber-klise dalam ingatanku. Bohlam kemuning yang berpendar-pendar pun meredup, dan menyala sangat terang kemudian. Aku berlari menuju arah teriakan itu. Aku sangat megenal suara teriakan itu. Aku masih berputar-putar di sekitar stand-stand bazar mencoba mencari muasal suara itu di sekericuhan yang mencoba menutupi arah datangnya suara.

Jrengjreng… jreng… jrengjreng… dering ponselku menunjukkan kepadaku di mana arah datangnya suara itu. Kulihat Alya yang mukanya memerah, matanya terbelalak, mondar-mandir di depan ruang ganti. Sebaris manusia telah mengantri di depannya. Mereka semua ingin masuk ke dalam, mengantri untuk mencoba beragam baju yang akan dibeli. Namun, beberapa yang mendengar teriakan itu melemparkan beragam pertanyaan kepada Alya. Dan, perempuan gusar ini hanya bisa menjawabnya dengan “Ah…”, “Em…”, dan “Eh…”. Dan, terulang begitu terus. Dan, getar-teriakan Mbak Kirana masih saja terdengar sebagai selingan.

“Alya…!” kusentuh bahunya, “Lihat aku Alya…!” kutepuk kedua bahunya berulang kali, “Alya…! ALYA!!!”

AAAAAAAAAAAAAAA…

Lihat selengkapnya