DUA CINCIN SEGALA SEMESTA

Muhammad Hamdan Mukafi (Emhaf)
Chapter #3

KALAPTI

KALAPTI

“Di atas langit itu, di ombak yang memantul padanya, kita menemukan-ku”

Aku melihatnya. Alya. Ketika kupandang langit itu, juga pada ombak yang memantul padanya, sebelum kujatuhkan ia di atasnya. Sebelum ia bertemu dengannya. Lelaki yang kini terbang di sebelahku – mengepakkan sayap walet berabstraksi dengan angin dan awan. Ia tak lagi mengecil seperti biasanya. Ia yang kini masih belum sadar juga, seberapa kedalaman pusara anginnya. Ia yang melemparkan matanya ke segala arah. Ia yang sedang memasang selimut angin di tubuhnya – yang tak bisa ditembus cahaya. Mulutnya bergumam menyebut nama Syaif.

Aku melihat langit di matanya. Langit yang mengingatkanku pada tetes waktu yang kuselimutkan pada Alya. Ia yang baru saja terlahir dari segumpal darah – berjalan di kehijauan Shaqkala tanpa tahu apa yang sedang ia cari. Aku yang menarik tangannya dengan anginku. Membuatnya menari-nari di atas rerumputan. Sebut para malaikat padanya, “Ia bahagia terlahir di Shaqkala”. Tapi aku melihat kekosongan dari senyumnya. Itulah ketika aku pun menyentuh senyumnya. Darah yang mengalir di bibirnya membuka kilas-kilas ingatan di tubuhku. Tiga nama dari tiga langkah kaki yang saling berhubungan namun tidak saling terikat. Aris, sebuah langkah kaki yang mengapit Ira di langkahnya pada penghujung gelap. Dan Arkaan, langkah kakinya yang menuju kegelapan, tanpa langkah yang menemaninya. Langkah Ira yang berhenti menghadapnya, untuk mengajaknya berselimut kegelapan. Namun, Arkaan yang tetap sendirian melihat langkah Ira dan Aris yang mulai melebarkan jarak, namun tetap memberikannya selimut kegelapan. Melihat itu. Aku bergerak seperti bukan aku yang biasanya. Aku yang bertanya lantang, namun teredam.

“Apa ini Gusti? Apa ini? Jika aku adalah bagian dari Lauhul Mahfudz, kenapa aku baru tahu ini? Seorang perempuan kecil yang lahir dari tiga langkah kaki? Ia yang datang ke Shaqkala bukan karena kematian. Ia yang lahir di Shaqkala bukan surga?

Jika aku adalah bagian dari Lauhul Mahfudz, kenapa aku baru tahu ini? Apakah aku bukan benar-benar bagian Lauhul Mahfudz? Apakah aku sebenarnya Gusti? Jika setiap aliran waktu adalah tubuhku. Sekarang aku melihat perempuan kecil ini? Yang tak pernah kurasakan dari segala aliran waktu sebelumnya. Lalu bagaimana dengan tiga langkah kaki itu? Apa yang sedang Kau inginkan dariku Gusti?”

Sebuah pusaran angin bergerak di jantungku. Krek… krek… krek… anginku meretak di dada. Lima jemari gemeretak di antara retakan. Mereka yang seperti mencakar-cakar udara dadaku. Utuhlah kelima jemari itu menjadi sebuah tangan – dan tangan sebelahnya muncul kemudian setelah lubang di dadaku terbuka sangat lebar. Sebuah kepala berselimut angin, samar-samar wajahnya menggeliat keluar dari dadaku. Entah, kedua tanganku sendiri bergerak ingin memasukkannya kembali ke dalam tubuhku. Tapi, nanar mata samarnya membuatku lunglai. Ia keluar dari tubuhku – setubuh berselimut angin yang samar-samar. Sehembus kenangan yang bersarang dalam tubuhku. Aku seperti bercermin memandangnya – melihat sebagian dari diriku – berlari – terbang – mencipta angin yang begitu besar – menggandeng perempuan kecil yang sedari tadi kuajak menanyai Lauhul Mahfudz dalam diam ketidakmengertiannya.

Matanya ada di mataku. Kakinya bisa kurasa geraknya. Tangannya – bisa kurasakan menggenggam hangat jemari perempuan kecil itu. Aku bisa merasa, sedetak, dua detak, dan detak-detak di dadanya yang berbadai. Ia yang mendekati gerbang Shaqkala. Ia, dengan selimut angin yang menyamarkan dua tubuh, dirinya dan perempuan kecil di gendongannya. Para malaikat penjaga gerbang tak ada yang merasakannya, kecuali sekelebat angin yang membuka gerbang Shaqkala. Tak ada yang curiga, kecuali gelagat terburu-buru menutup gerbang Shaqkala. Aku merasakan setiap yang ia rasakan. Dan, ia yang bisa merasakan semua yang kurasakan. Tubuh dan jiwa kami seperti terbelah, tetapi masih dalam satu keutuhan.

Aku mencoba mengingat potongan ingatan waktu siapakah ia. Aku tak asing dengan caranya melangkah. Aku tak asing dengan gelagat rupanya yang samar. Namun, semua potongan ingatan waktu yang bertubuh dalam diriku akan menjadi aku, samar-samar masa yang terpotong darinya telah menjadi organku. Ia tak akan bisa menjadi dirinya, potongan yang berwujud. Ia akan selalu serupaku. Namun… suara itu… ucap lirih perempuan yang digendongnya.

“Ibu…”. Aku pun tersenyum bersama senyum sepotong tubuhku yang menggandeng perempuan kecil itu.

“Pa…”. Kurasakan dadanya bergetar – dadaku bergejolak topan. Setetes air mengalir di pipi samarnya – selembar angin bergejolak di mukaku. Siapa ia? Siapa aku? Siapa saja dalam tubuhku? Aku apa?

***

Wussssss………. Selembar angin kulemparkan ke wajahnya.

“KEYLA!!!”

“Apa sih?”

“Kita sudah terbang terlalu lama di atas lautan waktu. Shaqkala di mana?”

“Hehe…”

“Hehe? Ngelamun apaan sih?”

“Sabar-sabar! Kekuatanku sudah terlalu banyak meredam semenjak tanda di pinggang Alya dan di tanganmu dipadatkan menjadi cincin ini!” sembari terbang ia menunjukkan jari manis di antara kelima jarinya yang membuka. Cincin palladium keperakan melingkar di sana. Burung walet bertengger dan mengepakkan sayapnya memutari jari itu.

“Lalu? Shaqkala?” aku mengernyitkan dahi.

“Ada cara lain untuk mencapai Shaqkala. Sejak Alya mewujudkan dirinya atas kehendak-Nya, aku tahu bahwa aku bukan seutuhnya bagian Lauhul Mahfudz. Setidaknya, aku tahu, aku hanya bagian darinya yang mencatatkan waktu. Diriku yang ini dan tubuh besarku yang menyelimuti Shaqkala, juga bagian-bagian lain dari kehidupan – bukanlah yang terpisah dari kehidupan. Apa kamu pernah merasakan waktu yang seolah menghilang dari kehidupanmu? Atau, ada orang yang kamu kenal dan berkata ingatannya hilang pada momen tertentu di saat seharusnya ia mengingatnya?”

“Amnesia maksudmu? Apa hubungannya dengan Shaqkala?”

“Bukan! Bukan amnesia! Tidak ada sebab musababnya. Ini ada hubungnnya dengan Shaqkala!”

“Hmmm…,” Aku berpikir di dalam pusaran selimut angin, “Apa mungkin aku pernah mengalaminya ya!”

“Coba kulihat!” Ia mendekatiku. Mengajakku berhenti di udara, membiarkan putaran angin mematri kedua kaki kami. Ia semakin mendekatiku. Menatapkan matanya tepat di hadapan mataku. Kedip bulu matanya yang seperti akan selalu menggoyangkan bulu mataku. Suara napasnya yang bertabrakan dengan helaanku. Ada angin yang berbeda, berputar di dadaku.

“Keyla?”

Ia tak menjawab pertanyaanku. Jemari tangan kanannya menyentuh ubun-ubun kepalaku. Masih dalam hadapan berdiri yang sama. Napasnya yang bertabrakan dengan helaanku. Juga, bulu matanya yang seolah terus mendekatiku. Jemarinya yang menempel di ubun-ubun melebur – menjadi angin. Berputar-putar di antara kepalaku. Aku merasakan tipis-tipis benang udara bergerak di syaraf-syarafku. Entah, apakah ini hanya imajinasiku. Tipis-tipis udara yang bergerak itu seperti beradu kecepatan dengan impuls listrik di otakku – menyeberangi jembatan-jembatan amigdala. Angin tipis itu sempat berhenti beberapa kali. Seperti ada tembok-tembok gelap menutupi beberapa ruas jalan syarafku. Sesuatu yang tak bisa kulokasikan dengan jelas.

“Aku menemukannya Arkaan!”

“Di mana?”

“Pada dirimu yang sedang duduk di kelas 4 Madrasah! Namun, banyak juga di masa-masa ke depannya!”

“Jadi kita akan ke mana? Ke zamanku masih Madrasah atau zaman di depannya?”

“Kurasa kita harus melihatnya satu per satu. Entah, aku sendiri merasa tak asing dengan masamu di kelas 4 Madrasah. Hmmm…”

“Tidak perlu terlalu banyak mikir Key! Langkah demi langkah, mengumpulkan sepotong demi sepotong untuk mengutuhkannya. Yuk!!!” Aku menggandeng jemarinya yang dari angin kembali menjadi kelentikan berisi kehangatan – sangat terasa seperti tangan manusia – bersuhu sebab darah mengalirinya. Namun, apakah darah yang mengalir di dalam kulit Keyla? Aku berhenti bertanya pada kediamanku.

BYURRRRRRRRRRRRRRRR.

**

Aku memang tak asing dengan waktu ini. Tempat ini - Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum. Tembok-tembok putih yang menjadi kusam sebab tangan-tangan berminyak, berlendir, berdebu, dari murid-murid madrasah yang menggunakannya sebagai ‘kain’ lap alternatif. Tembok hijau meng-kotaki luarnya. Kawat-kawat berduri – berkarat – yang selayaknya mencegah maling-maling memanjatnya. Satu hal, justru satu hal yang tak abisnya memberiku rasa tak asing ini. Sebuah ruang panjang, digunakan untuk kelas VI A dan VI B, dan di tengah-tengahnya, hanya disekat oleh papan triplek tipis, ruang kelas IV.

“Arkaan… apa kamu melihat apa yang kulihat?”

“Ssssssttt!!! Sembunyi!” Arkaan mengagetkan lamunanku. Di ruang kelas yang kulihat itu, dua lembar sayap putih sedang dibentangkan di atas kursi-kursi para siswa. Mereka yang terduduk mendengarkan sebuah pembicaraan memusat pada seorang guru yang tangannya diputihkan serpihan kapur. Papan tulis hitam kopi susu sebab telah terhapus guratan-guratan kapur di atasnya. Dia, yang tak asing bagiku, bagi kami. Hanya saja, sayapnya yang tak semengkilap emas ketika berada di dalam Shaqkala.

“Apa aku tidak salah lihat Key?” Arkaan mengucek-ucek matanya. Kami mengintip dari balik tembok di depan pintu masuk kelas.

“Tidak salah lagi… itu jelas-jelas Syaif!”

“Apa yang terjadi dengan sayapnya?”

“Ingat dengan perkataanku sebelum masuk ke Shaqkala dulu?”

“Yang mana?”

“Waktu seperti titik-titik, begitu banyak sehingga menjadi lautan. Aku melihat waktu bukan seperti kalian, masa lalu, masa depan, dan masa kini, bagiku selalu masa kini. Namun, perjalanan ini menunjukkan sesuatu padaku. Entah, ini benar atau salah.”

“Maksudmu?”

“Shaqkala belum terbentuk di masa ini, atau setidaknya Syaif belum menggunakan Shaqkala sebagaimana digunakannya sekarang. Zaman yang sebagaimana mestinya jika pun itu memang ada, zaman yang tidak mencoba mempercepat kiamat.”

“Aku tidak begitu mengerti ucapanmu Key? Apa intinya, kalau kita bisa mengikuti Syaif yang ini, kita akan tahu di mana Shaqkala? Awal terbentuknya Shaqkala? Atau, ada penguasa lain di Shaqkala saat ini sebelum Syaif?”

“Semua pertanyaanmu juga pernyataanku, masih sebatas perkiraan yang harus kita buktikan. Mau bagaimanapun ketika aku melihat isi kepalamu, memang menuntun kita ke zaman ini.”

Kami berhenti bertanya-tanya, menyata-nyata, ketika guru di kelas itu berujar…

Kita adalah sesama saudara, se-akhlak, se-aqidah, yang harus saling menyayangi, mengasihi, selama Iman dan Islam kita sama, tak peduli apapun yang lainnya.

Syaif bersayap putih yang duduk di tengah-tengah murid dengan kedua sayapnya yang terbentang mengangguk-angguk. Seksama ia dengarkan ucapan guru itu seperti potongan arti ayat dalam Al-Qur’an yang biasa diperdengarkannya, aku yakin itu. Malaikat terkenal dengan kepatuhannya berdzikir tanpa bertanya-tanya. Bahkan, di langit sana, ketika aku masih berada dalam tubuh besarku yang menyelimuti seluruh waktu, aku tahu tak sekalipun malaikat itu menyebut ayat Tuhan sebagai Al-Qur’an. Kadang, aku berpikir, ada benarnya juga ya, untuk apa disebut Al-Qur’an jika sudah mereka dengar langsung dari Yang Mengucapkannya? Untuk apa perlu diberi sebut-sebutan jika dengan bercakap-cakap dengan-Nya sudah mendapatkan petunjuk, pencerahan, dan beragam kabar? Namun, sebuah nama menjadi tanda untuk dipelajari hamba-hamba yang buta.

Ia terbelalak – kulihat pula Arkaan mematung melihat seorang anak yang tak asing di mataku – ah, tak asing jugalah anak itu di mata Arkaan. Dirinya di masa kecil, yang duduk tepat di depan sang guru, menanyakan…

Lihat selengkapnya