Dua Dunia Fiksi

Dreamerity
Chapter #2

2. Two Boys Who Ever Destroyed

BUKU-BUKU yang Althea simpan ke dalam rak menimbulkan bunyi kasar yang tidak nyaman. Dia menyimpannya secara paksa dengan suara debam antara bagian bawah buku dan papan kayu rak. Selly, si gadis berkacamata dengan kuncir ekor kuda, dan berompi hitam—atribut wajib klub perpustakaan (Althea juga memakai rompi itu, omong-omong)—menatapnya Althea tidak nyaman.

"Nyimpennya jangan gitu, dong!" Selly langsung menegur, nyaris memukul Althea dengan kemoceng bulu warna-warni.

Althea berjengit sejenak, menatap Selly ngeri. Lalu kembali menaruh buku-bukunya ke dalam rak. Kali ini dengan lembut. "Maaf."

Selly mendesis. "Kenapa, sih? Badmood?"

Althea menghembuskan napas. Dia sekaligus menundukan kepala juga punggungnya. Tubuhnya bergerak ke bawah, menurun, perlahan-lahan berjongkok. Kemudian, dia menempelkan kepala di atas lutut. Menyembunyikan wajah.

Selly memutar kedua matanya. Kebiasaan Althea kalau sedang menahan kesal. Gerutuan juga terdengar di sana, gerutuan yang kemudian diganti oleh tangisan tertahan yang dibuat-buat.

"Kenapa?" Selly bertanya dengan tajam. Sifat Althea yang kekanakan sudah mulai muncul. Melihat Althea yang menyimpan buku dengan kasar membuat suasana hati Selly buruk.

Namun, melihat gelagat Althea yang 'agak-agak' membuat Selly memutuskan untuk sabar dan berbaik hati untuk sejenak. Kalau badmood Althea disebabkan karena perkara remeh, Selly memutuskan akan lanjut membersihkan rak dan tidak mendengarkan. Kesabarannya terlalu berharga untuk meladeni gadis kekanakan macam Althea. Serius, Selly benar-benar tidak ingin membuang waktu.

Althea mengangkat kepalanya. Matanya merah dan berair.

Selly melotot. Terkejut karena tangisan yang dibuat-buat Althea rupanya tangisan sungguhan.

"Ada murid baru di kelasku."

"Lalu?" Selly bingung. Kalau ada murid baru, kenapa dia harus sedih?

"Dia bagian dari masa laluku!"

"Dia mantanmu?" Selly bertanya, antara mencoba memperjelas dan memperkeruh suasana hati. Althea menenggelamkan wajahnya ke dalam lutut lagi. Membuat suara tangisan yang seperti dibuat-buat terdengar lagi. Selly meringis, bingung. Dia kemudian berjongkok di depan Althea sambil memegang kemoceng. "Sebegitunya, ya, kamu benci mantanmu?" Selly tidak bisa untuk tidak menyebut murid baru yang Althea maksud dengan kata 'mantan'.

Althea mengangkat kepalanya. Pipinya sudah basah. "Apa kamu tahu rasanya jadi barang taruhan?"

"Nggak tahu." Selly menggeleng. "Tapi kalau aku tahu dan mengalami pun, pasti sakit," lanjut Selly. Matanya menyorot prihatin. Membayangkan Althea di masa lalu bersama murid baru itu.

Althea mengangguk. Dalam hati senang karena Selly membelanya. "Benar 'kan? Setelah aku menjadi barang taruhannya, kamu tahu apa yang dia lakukan?" tanya Althea. Matanya yang menyorot tajam. Selly menggeleng. "Dia menceritakan semua aibku ke teman-teman tongkrongannya, dan setelahnya, semua teman-teman sekelas, bahkan satu sekolah jadi tahu tentang rahasiaku. Di situ aku nyesel banget! Ngerasa bego juga! Aku percaya dia, tapi dia menyia-nyiakan kepercayaanku, dasar red flag!"

"Err ... kapan kamu mengalami yang begituan?" tanya Selly. Mencari celah logis yang bisa dia percayai dalam cerita Althea.

"Saat kelas delapan SMP."

"Oh iya, aku lupa kalau kamu berasal dari Kota Besar. Pasti ngeri banget, ya, pergaulan di sana?" tanya Selly, bergidik.

Althea mengangguk. "Memang. Dua tahun aku harus menahan malu. Dua tahun pula aku jadi sendirian karena kehilangan teman gara-gara dia." Althea mendudukan diri di atas lantai perpustakaan yang dingin. Dia menghela napas. "Syukurlah aku diterima di Yohans."

"Hei, ngapain kalian?" Seorang lelaki berambut hitam dengan rompi hitam yang menempel pada seragam putihnya—lengkap dengan nametag warna emas dengan nama 'Kiano Maffriks'—berdiri di depan mereka sambil memeluk tumpukan buku dominan warna hijau. Dia berdiri tepat di luar lorong dengan rak di kiri-kanan, tempat di mana Althea dan Selly bertugas membereskan buku.

Lihat selengkapnya