DI sekolah ini, toilet pria dan wanita di desain sejajar, dan pria dan wanita muda ini berdiri di antara dua toilet beda gender tersebut. Saling tatap selama beberapa lama. Yang satu menatap dengan garang, dan yang satunya lagi menatap agak takut.
"Revisi semua novel kamu, dan hapus aku dari sana."
"Nggak!" Althea langsung menolak tanpa pikir panjang. Rasanya takutnya perlahan hilang, dan matanya perlahan menanjam. Setelah beberapa lama menatap Raiden, dia ogah mengabulkan permintaan yang dirasa menghina itu. Althea merasa, ini semua bukan salahnya, ini salah Raiden. Salahnya sendiri karena terlihat memesona, salahnya sendiri membuat Althea baper setengah mati, dan salahnya sendiri membuat Althea patah hati.
Althea tidak akan menurut. Tidak akan! Raiden sendiri pernah mempermainkannya. Membuatnya dijauhi banyak teman, dan sekarang, Althea akan melakukan hal yang sama pada Raiden, meski caranya lebih elegan dan lumayan manusiawi.
"Apa kamu bilang?"
"Kenapa? Mau ngelontarin aku pake bahasa kasar di depan banyak orang, persis seperti waktu itu? Dan bikin aku dijauhin banyak orang sampe mereka nganggep aku pelakor? Silakan. Aku nggak takut." Althea menyilangkan kedua tangannya di dada sambil mengendikkan bahu. Menatap Raiden datar.
Althea tidak akan gentar kali ini, dia tidak akan takut. Toh, Raiden sudah banyak menyakitinya pada zaman SMP, dan alasan logis mengapa Althea memutuskan bersekolah di Yohans karena lelaki ini. Selain itu, dia tidak ingin ada seorang pun yang tahu perihal masa lalunya saat masa SMP, dan Yohans adalah tempat yang tepat. Sudah setahun Althea tidak kembali ke Kota Besar, itu karena rasa malu dan kesalnya yang masih bersemayam.
Althea dahulu anak yang supel, pandai bergaul, dan kenal semua orang, tetapi berkat Raiden, kepribadiannya berubah, dan orang-orang yang semula mengenal Althea juga ikut berubah. Mengubah diri menjadi tajam dan sinis setiap Althea hadir dalam hidup mereka atau ketika Althea hanya sekadar lewat.
Raiden meringis. Masih melontarkan tatapan tajam pada Althea. Kedua tangannya mengepal seolah hendak memukul gadis itu. Althea masih menatap Raiden datar. Sedang membaca perangai lelaki yang sebenarnya licik dan mudah marah itu.
Untuk sesaat, Althea pun memiringkan senyumnya. Sudah dia duga kalau Raiden tidak pernah berubah, mungkin tidak akan berubah.
"Oke, udah nggak ada urusan lagi, 'kan? Sekarang permisi, aku mau—"
Raiden langsung mendorong Althea begitu gadis itu hendak kembali ke perkumpulan klub perpustakaan. Althea melotot, mulutnya menganga, syok. "Apa-apaan—"
"Urusan kita belum selesai," sergah Raiden, masih marah.
Althea lebih marah lagi. "Aku mau balik ke perkumpulan—"