LANTAI kotor dan licin sudah menjadi hal lumrah di ruang seni. Biasanya, orang yang menumpahkan cat yang bertanggung jawab, sedangkan yang lainnya pasti akan tetap melanjutkan kegiatan melukis mereka di sketchbook berbahan tebal dengan warna kekuningan.
Beberapa ada yang melukis sambil duduk di lantai, menggambar dengan posisi tiarap, atau menyandarkan punggung di tembok dengan kedua kaki terlipat dan sketchbook yang bertumpu pada lutut. Ada juga yang menggunakan bagian sisi jendela sebagai tempat duduk. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena angin sepoi-sepoi yang biasa masuk ke dalam, juga lanskap pepohonan rindang yang tertiup angin. Benar-benar suasana yang menumbuhkan inspirasi dan imajinasi.
Ada banyak bangku di ruang seni. Semua bangkunya di simpan dengan posisi setengah lingkar mengelilingi ruangan, membentuk huruf U. Hanya beberapa orang yang duduk di bangku, termasuk Nichole. Kebanyakan anggota klub menggambar ogah memakainya. Selain repot harus dibereskan kembali, mereka juga enggan berurusan dengan klub tari yang kadang rewel kalau ada bangku yang tidak dibereskan.
"Ah, sebel!" Chika berseru setelah dia mengepel cat air yang tidak sengaja dia tumpahkan sendiri. Teman-teman satu klubnya sontak menoleh, termasuk Kang Azka, selaku pembimbing klub menggambar yang juga seorang mahasiswa tingkat akhir di jurusan DKV. Sesekali, dia memperbaiki bingkai kacamatanya. Menatap Chika. "Kenapa, sih, Chik? Inget mantan lagi?"
Pertanyaannya sontak membuat satu ruangan bising oleh tawa. Semuanya ingat, bagaimana Chika mengeluh tentang mantannya—dahulu pacar—yang tidak memiliki waktu untuknya.
Chika menceritakan semuanya pada teman-teman klub menggambar, termasuk Nichole dan Kang Azka, selaku pembimbing.
Nichole mendengar dengan saksama cerita Chika, dan dia langsung berada di pihak Chika. Chika kepalang senang saat itu, akhirnya memiliki dukungan dari sekian banyak orang yang dia ajak curhat. Nah, kalau Kang Azka, dia saat itu sedang duduk di pendopo. Sesekali menyeruput kopi hitam dengan pandangan mengarah ke laptop, sedang mengerjakan skripsi. Chika tiba-tiba muncul saat itu, dia yang pertama kali datang ke klub. Kang Azka tentu memperbolehkannya duduk di hadapannya meski sejurus kemudian Chika mencerocos tentang mantannya.
Terus terang, Kang Azka amat bingung dengan anak didiknya yang saat itu ini. Daripada berkomentar, akhirnya dia mendengarkannya saja, dan berkat curhatan Chika, skripsi yang semula dikerjakannya jadi mangkrak untuk beberapa waktu kemudian.
Chika menggembungkan kedua pipinya. Matanya lantas mengarah ke sebelah kiri. Ke arah Nichole yang memilih duduk di bangku. Gadis itu juga turut tertawa, tanpa suara. "Ketawa aja, terus!" Chika menyalang ke arah Nichole.
Nichole mengibaskan tangannya ke udara. Mencoba menghentikan tawanya. "Maaf-maaf. Habisnya, kamu tiba-tiba kesel sendiri, sih. Aku kira, kamu mendadak inget memori cringe." Nichole berkata begitu karena pernah mengalami apa yang Chika alami. Tiba-tiba jadi kesal sendiri karena memori antah-berantah.
"Tenang aja, Chik. Masih banyak kok, cowok lain. Aku misalnya?" Ilham berkata, berlagak optimis sekaligus mempromosikan diri. Hanya dia seorang yang menggambar sambil duduk di sisi jendela. Menikmati angin sepoi-sepoi dan lanskap yang memanjakan mata dan kalbu. Nichole sendiri memilih untuk kembali sibuk—meski sambil menahan tawa sesekali.
Chika mendelik. Pandangannya pun galak. "Ogah!"
Untuk kesekian kalinya, ruangan pun kembali riuh oleh tawa. Kali ini, bukan hanya anak-anak klub menggambar yang tertawa, Kang Azka pun juga ikut tertawa.
Beberapa menit kemudian, ruangan pun hening kembali. Chika sudah duduk di atas lantai sambil tiarap dengan mengangkat kedua kaki. Melukis di atas lantai yang dingin dan sejuk bersama teman-teman yang lain.
Tiba-tiba, di tengah kesibukan meramu imaji itu, sebuah bau menguar masuk ke dalam ruangan. Bau yang harum dan enak.
"Hm, jengkol." Ilham selaku orang yang memiliki hidung paling peka bergumam. "Hm, teri." Dan dia berkata lagi tanpa ragu. Sambil membayangkan dua makanan yang baru saja diciumnya.
Nichole menutup matanya. Merasakan bau yang menggelitik hidungnya. Dia tidak memiliki hidung setajam Ilham. Namun rasanya, mendengar lelaki itu menggumamkan dua makanan, membuatnya jadi bisa membayangkan dua makanan itu.