Aku menatap angka-angka yang tertera di almanak dengan hati gundah. Kamis. Kamis manis, kalau kata emak. Entah apa alasannya, sebagai perempuan sederhana yang tinggal di tepi perkebunan, emak selalu punya istilah khusus menandai hari. Ia selalu menyukai hari Kamis dan menyebutnya semacam mantera di awal pagi dan di akhir petang.
"Kamis manis. Kamis manis. Kamis manis." Bibirnya mengulang kalimat itu dengan suara fasih dan bersih. Dahinya berkerut-kerut. Hidungnya seakan terisap saat ia menarik napas, membuat wujud jambu air menjadi lebih kentara di sana.
Oh, Tuhan, ia mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh; sepasang matanya terpejam rapat dengan ujung-ujung bulu mata yang bergetar kecil, seolah membayangkan di hadapannya terbentang hari yang sangat manis dan menyenangkan. Entah mungkin di sana ada seseorang yang mengantarkan sekarung beras gratis untuk makan kami sebulan, atau seseorang memberinya uang untuk menutup kebutuhan harian yang berlubang-lubang. Entah seperti apa versi Kamis manis menurut emak yang tak pernah diceritakannya itu. Namun sudah pasti tak ada gambaranku dengan sosok yang lebih manis di sana; bergaun indah, rambut berhias mahkota bunga mawar dan duduk di atas kereta kuda. Itu impianku saat kecil dulu. Duluuu sekalii...