Dua Garis Luka

R Yulia
Chapter #2

Simbol Hati

Kelas kosong dan berisik, tak ada bedanya di kelas ini, kelas itu, kelas di sudut atau di lantai dua. Pak Danu dan guru-guru lain rapat di ruang kepala sekolah, membahas hal yang mendesak, katanya. Guru laki-laki yang kalau jalan tubuhnya sedikit melambai itu telah menitipkan beberapa butir soal latihan untuk dikerjakan para siswanya di sepanjang jam pelajaran yang kosong.

"Saat bapak kembali ke kelas nanti, semua soal sudah terjawab dan dikumpulkan di meja bapak. Jangan berisik dan jangan bertengkar. Kalian bukan anak sd atau smp lagi. Malu sama jakun dan kumis kalian itu!" ujarnya sebelum meninggalkan kelas.

Seperti biasa, para penghuni kelas selalu kompak dan koor menjawab "Iyaa, Paaakk!!" Namun, begitu tubuh gurunya lenyap dari pandangan, setiap orang mulai bebas berpindah duduk dan memilih teman yang disukai untuk memulai obrolan seru. Ada yang hanya memutar tubuh ke arah meja di belakangnya dan bergabung cekikikan membicarakan perangai si A, si B atau si C. Namun ada juga yang berpindah cukup jauh dari kursi paling depan menuju kursi paling belakang. Kelompok kedua ini cukup banyak anggotanya, nyaris separuh dari isi kelas, bercampur cowok-cewek dan paling riuh. Tawa mereka bergemuruh, terbahak-bahak dengan satu dua lengkingan perempuan menimpali. Bosan mengobrol, mereka mulai memukul-mukul meja laksana gendang, mengiringi lagu yang dinyanyikan dua tiga orang temannya. Di antara ketiganya, sepertinya hanya satu orang yang bersuara cukup baik. Selebihnya hanya berfungsi merusak nada dan lirik saja.

Sepertinya Lina menjadi satu-satunya makhluk di kelas itu yang tak mengubah posisi duduk sama sekali. Tetap di kursinya, mencoret-coret halaman buku paling belakang dengan kalimat-kalimat yang mirip puisi dan gambar-gambar. Dimirip-miripkan tepatnya. Ia menggambar simbol hati untuk memisahkan antar bait. Hati yang tak persis bertemu titik di sudut sempitnya. Hati yang tak seimbang sisi kiri dan kanannya. Hati yang pada beberapa coretan tertentu malah lebih menyerupai bentuk karak kaliang1) atau simpul benang.

Teman sebangkunya, Evi, sudah terbang dari tadi, bergabung dengan kelompok mayoritas di belakang. Mereka tengah membahas cerita tentang pasangan-pasangan baru di sekolah dan menebak-nebak sampai kapan hubungan-hubungan baru itu akan bertahan. Evi memang paling hobi membahas gosip-gosip remeh temeh seperti itu. Makanya dia kurang betah duduk semeja berlama-lama dengan Lina yang katanya pendiam dan kurang banyak update info terkini. Apa sih pentingnya tahu banyak tentang hal-hal yang nggak penting untuk diri kita? Lina selalu berpikir demikian, mungkin itu sebabnya banyak teman yang kurang dekat dengannya.

BRAAKK!!

"Heii!" Sebuah tepukan cukup keras di meja dan seruan yang bersamaan, nyaris membuat Lina terlompat dari kursi saking kagetnya. Wajah Diro menjulur tepat di depannya, hanya berjarak sejengkal telapak tangan saja. Kurang ajar! Umpatnya dalam hati. Lina memegangi dadanya, berharap irama jantungnya yang tak beraturan itu kembali normal. Ia menarik wajahnya menjauh dari Diro dan menatapnya dengan marah.

"Kauu!!" bentakku kesal.

Diro tertawa terbahak-bahak.

"Ngapain kau?" Ia mencermati lembaran buku tulis yang sudah dipenuhi puisi dan gambar-gambar. Lina cepat menutup buku dan menjauhkannya dari Diro.

"Pergi sana! Mengganggu aja pun!" sentak gadis itu semakin kesal.

Diro menarik wajahnya dan berdiri tegak memandang teman sekelasnya itu dengan penuh senyum. Tapi gadis itu tak menyukai tatapannya. Ia tahu ke mana arah pandangan pemuda itu dan segera membuatnya jijik.

"Udah, sanaa! Pergii!! Jangan ganggu aku." Lina berteriak dan beberapa teman mereka menoleh sesaat, untuk kemudian tak peduli dan kembali lagi pada kesibukannya masing-masing.

"Ih, kok palak? 2)" protesnya.

"Awaslah, kauu! Mengganggu aja pun kerjaanmu." Lina mendorong tubuh pemuda itu sekuat tenaga, menjauh dari meja. Diro mundur beberapa langkah, namun kemudian ia berjalan ke depan kelas dan melambaikan kedua tangannya kepada kelompok gosip di belakang yang masih beradu dengung topik bahasan.

"Wooyy! Si Lina bikin puisi cinta nii. Untuk kau kayaknya Domu! Ada lope-lopenya banyak kali!" Diro berteriak cukup lantang.

"Bising kali kau, Diro!" sergah Lina sembari merobek selembar kertas dari buku tulis, meremasnya menjadi gumpalan bola dan melemparkannya dengan sengit ke arah Diro. Pemuda itu mengelak.

"Eit, kok bikin sampah kau, Lina? Kutip tu, buang. Jorok kali. Kena marah bapak kau nanti." Diro menyepak bola kertas yang dilemparkan kepadanya, menuju gadis itu kembali. Lina semakin kesal.

"Makanya, jangan kau ganggu orang."

"Ih, aku kan cuma bilang apa yang ku lihat. Sayangnya belum kubaca tadi isinya."

"Diamlah, kau!"

"Mana bisa aku diam. Udah sejak lama aku curiga kenapa badanmu makin ehm. Rupanya karena ada pacar baru. Ngerti aku sekarang." Pemuda itu menatap gadis di depannya dengan senyum melecehkan. Ia berpindah posisi dan berdiri di samping Lina yang masih duduk dengan sikap awas, lalu mencolek pinggangnya dengan cepat. Gadis itu memekik marah dan mengayunkan tinjunya ke bahu Diro. Ia tak cukup cepat mengelak dan itu sangat mengesalkannya. Lina paham apa yang dimaksudkan oleh Diro, begitu juga dengan tatapan dan senyum yang terlihat mesum itu. Ia sama sekali tak menyukainya. Benar-benar menjijikkan!

"Pergi kauuu!!" teriak Lina membahana. Ia berdiri dengan cepat, menggeser meja dengan gaduh dan menendang tulang kering kaki Diro dengan ayunan yang cukup bertenaga. Pemuda itu mengaduh cukup keras dan merentangkan kedua tangannya ke depan, berjaga-jaga membendung serangan tambahan. Beberapa temannya yang masih riuh mengobrol di beberapa sudut kelas, seketika terdiam dan memerhatikan keduanya.

"Heh, sok cantik kau!" Diro mencibir.

"Diamlah, kau!" balas Lina sengit. Sepertinya ada bayang-bayang air mata yang ingin tumpah di pandangan gadis itu, tapi ia berusaha menahannya sekuat tenaga. Tidak, jangan menangis, Lina. Ini bukan yang pertama kalinya, ucapnya di dalam hati.

"Sok alim, padahal murahan. Udah pernah dipegang-pegang, kan?!"

"Kurang ajar kali kau, ya!" Lina menghampiri Diro dengan kemarahan yang tak tertahankan lagi. Namun Diro sudah berlari keluar kelas. Ia mengejek gadis itu dengan menjulurkan lidahnya ke kiri dan kanan. Tubuhnya bergoyang-goyang seperti tengah mengikuti alunan musik, meski kenyataannya tak ada suara apapun di luar sana.

"Halah, Lina. Ngaku ajalah kau. Sok aliiimm!!" seru Diro lagi. Ia seperti belum puas mem-bully teman sekelasnya itu.

"Diro! Bandal kali kau, ya?" Tiba-tiba dari arah belakang Evi muncul mengejar Diro keluar kelas. Begitu mendapatkannya hujaman kuku tak kira-kira mendarat di lengan pemuda itu. Ia mengaduh-aduh dan meminta Evi menghentikan aksinya.

"Aduuh, Vi. Sakit ituu. Gila kau, ya?" protesnya sembari menghalau dan menghindari cubitan Evi berikutnya.

Lihat selengkapnya