Dua Garis Luka

R Yulia
Chapter #3

Ingatan yang Hilang

Semilir angin di pukul lima petang adalah sedikit kenikmatan surga yang bisa dirasakan penduduk dunia. Itu kata Pak Guru Dindin saat ia duduk di bangku sekolah dasar, dan Lina selalu menyetujui pendapat itu hingga bertahun-tahun setelahnya.

Tentu saja, tak ada yang lebih mendamaikan selain embusan angin yang mengalir lembut di antara helai-helai rambut dan menyelinap di tengkuk; yang seketika mengail kantuk. Tapi Lina tak pernah menyerah pada rasa ingin terlelap itu. Ia lebih memilih untuk mengerjakan hal lain yang disukainya. Kata Pak Guru Dindin pantang tertidur di jam-jam menjelang Magrib. "Banyak anak setan berkeliaran. Nanti kamu mimpi buruk berkepanjangan."

Jika tak ada PR sekolah atau pekerjaan di rumah yang harus diselesaikannya, Lina selalu keranjingan menulis dan menggambar di lembaran-lembaran belakang buku catatannya. Meski menurutnya tak ada bakat yang cukup besar di dirinya untuk dua hobi tersebut, tapi ia sangat menyukainya. Ia akan menggambar simbol-simbol yang bagi banyak orang hanyalah gambar-gambar yang tak memiliki nilai seni sama sekali. Tapi ia suka.

Ia akan menggambar ikan-ikan yang berenang tanpa air, atau awan-awan yang berarak memenuhi langit, atau bunga-bunga yang berserakan di taman meski tanpa tangkai dan pepohonan, juga gambar hati; salah satu simbol favoritnya. Itu sudah lebih dari cukup untuk melipur kegalauan hatinya. Iya, begitu saja. Lina takkan memilih kegiatan lain yang dianggapnya jauh lebih merepotkan. Bernyanyi adalah pilihan yang sulit, sekalipun dia ingin. Ia meyakini, suaranya hanya akan membangkitkan kemarahan hantu-hantu di rumah ini, yang kemudian mengirimkan energi negatif ke seluruh rumah.

"Hantu-hantu di rumah ini akan terbangun kalau kau bernyanyi. Jadi hentikan dan jangan ulangi lagi." Ibu pernah bilang begitu saat ia menyanyikan lagu cinta lama yang pernah didengarnya di radio. Ia masih kecil, mungkin sekitar enam atau tujuh tahun. Ia ingin melanjutkan nyanyiannya karena lagu itu begitu disukainya, namun ia tak ingin ibunya marah. Lina anak penurut dan ia tak pernah bernyanyi lagi.

Apa yang akan terjadi kalau hantu-hantu terjaga? Ia pernah bertanya-tanya mengenai hal itu saat usianya sepuluh tahun. Tapi ibu tak pernah bilang apa-apa. Ia hanya berkata, "Jangan lakukan, atau kau akan menanggung derita karenanya." Ibu tak pernah tersenyum. Wajahnya selalu terlihat datar dan tak bahagia. Jadi saat ia mengatakannya, Lina tahu bahwa lebih baik jadi anak yang patuh, ketimbang harus berhadapan dengan sesuatu yang berbahaya dan tak dapat ditanganinya; sesuatu yang menebarkan aroma negativitas.

Energi negatif itu bisa dimulai dengan kucing liar yang menerobos dapur dan menjatuhkan mangkuk sayur, gelas atau apa saja yang ingin digeser-gesernya dengan telapak kaki merah mudanya itu. Sesekali kelakuan bengal kucing liar itu tertangkap basah oleh Lina, atau Wak Ros (ibunya Lina), atau Agung, abangnya. Lina akan menghalaunya dengan mengayun-ayunkan tangan dan mengucapkan kata "Hushhh..., husshh." Sementara ibunya akan mengusir kucing itu dengan teriakan histeris sejak awal matanya melihat makhluk itu dan ayunan sapu membabi-buta yang akan membuat sang kucing terbirit-birit menyelamatkan diri.

Abang Lina takkan melakukan keduanya, karena ia akan berjalan diam-diam mendekati sang kucing, lalu segera menendangnya dengan geram. Kucing itu akan terlempar beberapa meter ke belakang, mencoba berdiri dengan goyah, lalu memaksakan dirinya berlari sekencang-kencangnya keluar rumah. Itu yang paling menyakitkan, tentu saja. Toh, ia tak pernah jera. Hidup, bagaimanapun bentuknya, memang pertaruhan nyawa. Diam atau bergerak, tetap punya peluang untuk binasa. Demikian kata orang-orang tua yang kerap berkumpul di pos ronda kampung selepas Isya.

Itu masih satu soal.

Lihat selengkapnya