Kita selalu percaya bahwa apa yang kita inginkan, saat ia dibawa ke dalam doa, akan mewujud kenyataan. Orang tua, guru agama dan orang-orang yang mengaku telah banyak mengecap asam manis kehidupan senantiasa menyampaikan betapa ajaibnya perjalanan keinginan yang diiringi doa, mengetuk pintumu pada suatu masa dan kau sambut penuh sukacita.
Tak ada yang benar-benar pahit di dalam hidup ini. Tak ada juga manis yang sempurna. Karena semua telah diciptakan berpasangan; pahit manis, susah senang, hitam putih. Jadi jalani saja hidup ini dengan tenang dan berprasangka baik kepada Tuhan. Seorang ustad pada salah satu pengajian pernah mengucapkan petuah itu. Aku hadir di sana meski tak terlalu memahami segala perkataannya. Usiaku masih cukup belia ketika itu. Berada di tengah sekelompok ibu-ibu pengajian yang seringkali berisik di saat ustad menyampaikan ceramahnya, tak lain karena mengikuti kehendak emak.
Hari Kamis adalah hari kebajikan, kata Emak. Maka ia melakukan banyak hal-hal baik, atau setidaknya baik dalam pandangannya, sejak arunika semburat jingga di ufuk timur. Emak akan mengelilingi ruang demi ruang di rumah kami yang sempit, membuka pintu dan jendela lebih awal dan bibirnya komat-kamit mengucapkan “Kamis manis, Kamis manis, Kamis manis..” Ia akan berhenti tepat di depan pintu, jalur cahaya masuk terakhir yang dibukanya dan kembali mengucapkan kata-kata itu sembari memejamkan matanya.
“Kamis manis, Kamis manis, Kamis manis.” Ia memanterai hari Kamis dengan begitu khusyuk, seolah-olah itu akan menjadi hari terakhir yang akan memberikannya kegembiraan.
Entah sejak kapan ia memulai kebiasaan itu, tapi yang kuingat ia melakukannya pertama kali sepulang menjemputku dari rumah sakit, setelah dirawat beberapa hari di bangsal yang setiap waktu dipenuhi pergantian orang sakit dan orang meninggal. Aku sempat lupa untuk beberapa masa tentang apa yang menyebabkan aku harus terbaring berhari-hari di rumah sakit. Aku hanya ingat saat itu aku terus menangis di sepanjang perjalanan pulang kami dengan menumpang beca. Emak tak berupaya membujuk sama sekali. Aku masih merasakan sakit di salah satu bagian tubuhku, di sekitar pangkal paha, yang membuatku tak nyaman untuk duduk ataupun berjalan, bahkan untuk membuang hajat rutin di kamar mandi.
Aku masih menangis saat melewati masjid, sekolah-sekolah, kantor camat, pekuburan dan areal perkebunan. Aku tetap menangis meskipun kami sudah tiba di rumah. Bahkan, begitu emak membuka pintu rumah, aku spontan memegangi ujung baju yang dikenakannya erat-erat, hingga baju itu tertarik sedikit dan membuat posisi kerahnya menjadi sangat miring.
“Masuk,” kata Emak tegas. Aku mengerut di sisinya, tak hendak melepaskan peganganku di bajunya. Tapi emak membuka paksa genggamanku dan menyuruhku duduk di kursi tamu kami yang busanya sudah setipis karpet plastik alas lantai. Tak berasa sama sekali tatkala pinggul kecilku rebah di atasnya. Aku duduk mengamati emak yang ke sana kemari membereskan barang bawaan kami.
Tak lama, emak menghampiri dan berjongkok tepat di hadapanku. Ia memegang kedua lututku dan menyatukannya hingga tak bercelah sedikitpun. Tatapannya jatuh tepat di manik mataku.
“Duduk dengan kaki rapat seperti ini. Kau harus membiasakannya sejak sekarang dan seterusnya. Itu akan mengurangi rasa sakit. Jika masih terasa, semakin rapatkan dan tahan dengan perut. Seperti begini,” katanya sembari memperagakan dan memandangi wajahku, memastikan apakah aku mengerti apa yang dikatakannya. Aku mengangguk takut-takut. Emak tak pernah tersenyum dan sejak hari itu ia menambahinya dengan ekspresi wajah yang murung, kecuali saat ia mengucapkan mantera favoritnya; Kamis manis.
Aku tak pernah lupa melakukan apa yang dikatakan emak. Ketika rasa sakit itu menyerang, tepat saat dan setelah buang air kecil, aku selalu mengenakan celana dalamku secepat kilat dan terburu-buru duduk di kursi kami yang semakin hari semakin tipis itu, dan merapatkan kedua lututku serapat-rapatnya. Terkadang aku membungkukkan badan ke depan sedemikian rupa untuk memberikan tekanan ke perut dan mengurangi rasa sakitnya. Saat emak melintas dan memergokiku, ia hanya menatap sekilas. Tak pernah lagi menghampiri, tak pernah berupaya membantuku untuk mengurangi rasa sakitnya, sekalipun tatapanku yang tak lekang padanya memohon dengan sangat agar ia memelukku, sekejap saja. Pasti rasanya hangat dan akan mengurangi rasa sakit yang kurang ajar itu. Tapi emak hanya menghela napas dan berlalu. Aku berjuang sendirian melalui rasa sakit hingga waktu membantuku memulihkannya, juga melupakannya. Aku lupa pernah memiliki rasa sakit itu, hingga suatu peristiwa mengingatkanku secara brutal di beberapa tahun setelahnya.
Sore setelah kepulanganku dari rumah sakit, beberapa saat sebelum swastamita menjemput gulita, emak berdiri tegak di depan pintu dan menatap lurus ke langit. Ia menggumamkan sesuatu yang tak mampu kudengar dengan jelas dari jarak yang jauh. Aku mendekatinya dan menyimak kata-katanya.