DUA HATI

Rizki Ramadhana
Chapter #1

Dina

Jalanan nampak lengang saat sebuah sedan Lexus putih melaju membelah kota. Hari masih sangat pagi. Di dalamnya mengemudi seorang gadis berusia dua puluh sembilan tahun. Ia berkonsentrasi penuh terhadap jalanan. Pandangannya tidak teralih sedikit pun dari jalanan di depannya. Tak lama kemudian ia mencapai kompleks perusahaan tempatnya bekerja.

Gadis itu mengemudikan mobilnya hingga ke gerbang utama. Satpam yang melihatnya langsung memberi hormat dan membuka car barrier. Hanya level manajer ke atas yang mobilnya boleh memasuki area dalam perusahaan Aerostructure and Integration yang lebih dikenal masyarakat dengan nama AI. Batas itu ditandai dengan car barrier. Pejabat setingkat supervisor dan bawahannya hanya boleh memarkir mobilnya di area yang berada di luar car barrier.

Ia memarkir mobilnya di depan pabrik Detail Part, mematikan mesin dan mencabut kuncinya. Kaki jenjangnya yang putih mulus keluar lebih dulu dari pintu mobil. Ia turun dari Lexus-nya di area parkir yang masih lengang.

Sejenak ia memperhatikan wajah dan rambutnya di jendela mobil, lalu beranjak pergi. Hak sepatunya menimbulkan suara ketukan yang cukup keras saat beradu dengan lantai. Dimasukinya lift yang akan membawanya ke lantai dua, lantai tertinggi di gedung fabrikasi.

Dalam perjalanannya, lift itu dimasuki oleh sejumlah orang yang sebagian besar pria. Mereka adalah janitor. Tak seorang pun masuk tanpa mencuri-curi pandang ke arahnya.

Tubuhnya ramping, dengan paduan blus dan rok krem maka ia semakin mengundang tatapan pria-pria di sekitarnya.

Sedikit-sedikit mereka memandangi wajah dan leher yang putih bersih milik sang gadis. Sementara mereka yang berdiri di dekatnya diam-diam menghirup dalam-dalam wangi parfumnya. Yang berdiri di belakangnya memandangi rambut sepunggung bergelombang, juga mencuri-curi menghirupnya, berhati-hati jangan sampai si gadis menyadari. Mereka nampak kecewa saat harus keluar dari lift dan berpisah dengan sang gadis, yang berarti akhir dari mimpi indah mereka.

Sang gadis tidak langsung menuju ruangannya. Ia justru pergi ke atap bangunan setelah sebelumnya menyeduh teh panas di kantor. Dipandangi dan dinikmatinya suasana bandara yang dapat dilihat dari jendela kantor, sambil sesekali menyeruput teh buatannya.

Hal yang ia lakukan setiap hari.

Beberapa waktu berselang. Orang-orang memasuki kantor di gedung itu. Awal pekan, setiap orang kembali ke dalam realita setelah mencukupkan diri dengan istirahat di akhir pekan. Kebanyakan dari mereka berwajah lesu. Jarang sekali ada yang nampak ceria di hari Senin.

Termasuk di kantor ini.

Hiruk pikuk mulai terdengar, setiap orang telah memulai harinya untuk mencari nafkah. Manajer-manajer dengan penampilan rapi dan necis, jas dan blus yang berharga setengah gaji bulanan stafnya, berjalan kesana kemari dengan wajah mendongak. Pakaian mereka akan membuat mereka mendesah lega setiap kali melepasnya di akhir hari dan kembali menjadi dirinya sendiri. Mereka mengawasi bawahannya masing-masing dengan tatapan tajam, memastikan bahwa departemennya telah mulai memasuki pekan yang baru.

Perlahan sang gadis berjalan masuk menyusuri kubik-kubik. Ia telah kembali dari ritual paginya. Semua orang terdiam sambil membungkukkan badan menyambutnya. Tatapan mata tajam miliknya menyapu seluruh ruangan, tak ada seorangpun yang berani menantang sepasang mata itu.  

“Pagi, Bu Dina.” Sapa sekretarisnya takut-takut ketika ia mencapai pintu ruangannya.

“Pagi,” jawabnya dengan senyum simpul.

Dina Indria menikmati sejenak pemandangan dari lantai ruangannya, memandangi Gedung Manajemen yang berada tak jauh dari kantornya sekarang, sebelum duduk di kursi empuknya menghadapi meja yang sangat rapi, hanya ada pena dan rak dokumen yang menunggu tandatangannya. Semua berada dalam jangkauan tangan si empunya meja.

Ruangan kantornya nampak sangat luas. Di ujung ruangan sebelah kiri dari arah pintu, terdapat sebuah meja rapat besar yang terbuat dari Kayu mahoni. Jika datang ke ruangan itu untuk pertama kalinya, tidak akan ada yang menyangka berapa orang telah dibanting Dina di meja itu.

Di sudut lainnya ia menaruh tanaman hias, yang selalu tak lupa disiramnya setiap hari. Ruangan itu bernuansa serba putih, termasuk sofa dan televisi plasma di dindingnya, tanpa sedikit pun barang berserak. Semua kertas dokumen tersusun rapi di lemari. Meja kerja utamanya membelakangi jendela raksasa tempat siapapun bisa melihat separuh kota dari situ.

Dinyalakannya Macbook miliknya untuk memeriksa email apa saja yang masuk sepanjang akhir pekan. Baru saja ia mulai tenggelam dalam email-email itu, teleponnya berdering.

“Bu, Pak Usman mau bertemu.”

“Hmm, suruh masuk.”

Pintu terbuka, salah satu supervisornya itu memasuki ruangan yang luasnya sama dengan dua puluh kamar tidur apartemen standar.

Lihat selengkapnya