Pemuda itu bangun di pagi buta. Ia membasuh wajahnya di wastafel, menyeduh secangkir teh manis, dan mulai menyalakan komputer jinjingnya. Matahari bahkan belum nampak cahayanya di ufuk timur, namun pemuda itu telah berselancar di dunia maya. Lima belas menit, tak lebih, waktu yang dibutuhkannya untuk memuaskan dahaga informasi. Ia mulai mengirimkan email kepada bawahan-bawahannya yang mungkin baru akan membukanya beberapa jam lagi.
Ia beranjak menuju pintu depan apartemennya, dan memulai lari pagi.
Selesai berolahraga ia sarapan dengan menu lengkap. Selesai sarapan ia meluncur dengan mobilnya. Menuju kantornya di pusat kota. Jalan raya di pagi ini masih begitu sepi.
Hampir belum ada seorang pun disana. Hanya satu atau dua office boy yang memang tinggal di kantor itu untuk menghemat biaya hidup. Re melewati meja-meja yang masih kosong dan masuk ke ruangannya. Ritualnya mengawali hari adalah menyalakan komputernya dan memeriksa apakah ada jawaban email yang ia kirim beberapa waktu sebelumnya. Ia hampir selalu menjadi orang pertama yang datang di direktoratnya. Hanya sedikit orang yang mendahuluinya.
“Pagi!” Suara Dina memecah kesunyian pagi itu. Ialah salah satu dari sedikit orang yang dapat mendahului Re datang ke kantor.
“Miss Dee! Selamat pagi. Kamu tidur jam berapa tadi malam?”
“Jam dua belas. Kenapa?”
“Aku lihat messenger kamu masih nyala sampai aku tidur.”
“Udah tahu nyala, tapi nggak disapa.”
“Mau apa lagi? Ketemu udah tiap hari. Ngobrol juga tiap hari.”
“Ya apa kek. Ceritain dongeng kek biar aku cepet ngantuk.”
“Kayaknya kamu mesti periksa, jangan-jangan kamu insomnia. Jam dua belas baru tidur.”
“Yang jelas aku datang lebih pagi daripada kamu.”
Re terkekeh.
“Coba kamu juga periksa ke dokter. Jangan-jangan kamu disengat lalat tze-tze. Jam 10 udah tumbang.”
“Hoo, satu-satunya yang bisa bikin aku begadang adalah kalo kamu mulai curhat di chat.”
Dina tertawa.
Siangnya, mereka kembali berada di restoran favorit mereka berdua. Bahkan tak berbarengan pun mereka hampir selalu bertemu di sini. Tempat yang menjadi saksi bisu kebersamaan mereka sejak bertahun-tahun silam. Re memasuki restoran dan Dina berjalan tepat di samping kirinya. Mereka memilih meja yang dekat dengan jendela. Tak peduli dimanapun, asalkan meja tersebut dekat dengan jendela.
“Cordon Bleu dan jus jambu,” perintah Dina singkat kepada waitress.
Pramusaji sibuk mencatat.
“Tenderloin, french fries, dan jus alpukat kan?” celetuk Dina saat melihat Re siap memesan.
Re mengangguk pada pelayan.
“Kamu lama-lama bisa baca pikiranku ya?”
“Sudah lama. Saya bisa baca semua yang ada dalam diri kamu sejelas saya membaca buku.”
“I doubt it.”
“Try it then.”
“Nggak ah, mendingan liatin pemandangan.”
“Liatin pemandangan apa pemandangan?”
“Orang-orang sekitar kita ini, coba kamu lihat. Kita sudah lama makan disini. Tapi selalu ada orang-orang baru yang belum pernah kulihat sebelumnya.”
“Mungkin mereka nggak terlalu menjadikan restoran ini sebagai favoritnya.”
“Iya. Contohnya orang berstelan rocker disana itu. Baru sekarang kulihat.”
“Memangnya kemarin-kemarin nggak ada ya?”
“Yang aku ingat sih kemarin-kemarin masih ada eksekutif muda disana.”
“Oh, iya aku ingat. Jangan-jangan eksmud itu udah di-PHK.”
“Sembarangan kamu!”
Mereka tertawa.
“Film kesukaan kamu, apa itu namanya?” tanya Dina.
“Yang mana? Action? Romance? Thriller? Mystery?”