DUA HATI

Rizki Ramadhana
Chapter #6

Keganasan Dina

“Pagi, Bu Dina.” Suara sekretaris Dina terdengar lembut, tetapi sedikit tegang, saat wanita itu membuka pintu ruangannya. Dina hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Langkah-langkahnya mantap saat ia berjalan menuju meja besar yang menghadap jendela, memberikan pemandangan gedung-gedung tinggi di luar sana. Dina adalah tipe orang yang selalu tenang, meski suasana di kantor sering kali tegang karena tuntutan pekerjaan.


Duduk di kursinya yang nyaman, Dina menatap layar MacBook-nya yang mulai menyala. Hari baru, tantangan baru. Ia mengetik beberapa perintah cepat, memastikan bahwa jadwal rapat pagi ini sudah siap. Sebagai manajer program di salah satu perusahaan besar, setiap langkahnya selalu diawasi, baik oleh atasan maupun bawahannya. Dan Dina tidak pernah gagal.


Kantor mulai sibuk. Dari balik dinding kaca ruangannya, Dina bisa melihat karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Beberapa dari mereka melirik ke arah ruangannya, tetapi segera menunduk ketika tatapan mereka bersirobok dengan milik Dina. Dina tahu bahwa ia dikenal sebagai pemimpin yang tegas, bahkan mungkin terlalu keras bagi sebagian orang. Namun, itulah yang membuatnya sukses. Baginya, keberhasilan bukanlah soal popularitas. Efisiensi dan ketepatan adalah segalanya.


Suara ketukan pintu memecah konsentrasinya. “Masuk,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Pintu terbuka, dan Re muncul dengan wajah santai, senyum menggantung di bibirnya.


“Pagi, Dina. Sudah siap menghadapi hari yang panjang?” Re, manajer di departemen jaminan mutu, terlihat kontras dengan Dina. Jika Dina penuh dengan keseriusan dan formalitas, Re justru sebaliknya—santai dan ramah. Hubungan mereka sudah lama akrab, meski tidak pernah ada indikasi romansa. Mereka hanyalah dua profesional yang menghargai kinerja satu sama lain.


“Seperti biasa. Sudah siap dengan laporanmu?” Dina menatapnya sejenak, lalu kembali mengetik. Tidak ada basa-basi dalam caranya bekerja. Re, yang sudah terbiasa dengan sikap itu, hanya mengangkat bahu.


“Tenang saja. Laporan sudah di meja Anda, siap untuk diperiksa.” Re tersenyum, duduk di kursi di depan meja Dina tanpa menunggu diundang. “Ngomong-ngomong, sudah sarapan?”


Dina menghentikan ketikannya, menatap Re dengan tatapan datar. “Kamu tahu jawabannya, Re.”


“Tentu saja,” Re tertawa kecil. “Kamu pasti sudah di sini sejak jam tujuh. Aku serius, suatu saat kamu harus belajar santai sedikit.”


Dina tidak merespons, hanya kembali fokus pada layar di depannya. Ia tahu Re sering bercanda tentang cara kerjanya, tetapi Dina bangga dengan rutinitas dan disiplinnya. Itulah yang membedakannya dari orang lain. Dia bukan orang yang bisa bersantai ketika ada pekerjaan yang harus diselesaikan.


Sementara Re duduk santai, matanya menjelajahi ruangan Dina yang rapi dan minimalis. Setiap barang memiliki tempatnya, dari rak dokumen yang tersusun rapi hingga tanaman hias kecil di sudut ruangan. Tidak ada yang berantakan, tidak ada yang keluar dari garis. Sama seperti pemilik ruangannya—teratur, tegas, dan fokus.


Lihat selengkapnya