Re duduk mematung sambil memandang keluar jendela apartemennya. Memperhatikan kota yang diguyur hujan. Merenung dan melamun sambil menyeruput segelas coklat hangat.
Ia meninggalkan kantor tepat pukul lima sehingga Dina pun kaget. Ia mengatakan kepada Dina ketika perempuan itu meneleponnya bahwa ia takut kena banjir di sore hujan. Re pun kini berselonjor dan menyandarkan diri di sofanya sambil terus memandangi hujan.
“Siapa perempuan itu, Re?” tembak Dina usai satu rapat.
“Eh?”
“Perempuan itu, yang bikin kamu begitu dimabuk asmara. Siapa dia?”
“Kok, kamu tahu?”
“Re, sekian lama aku kenal kamu, aku hafal benar ekspresi kamu ketika menerima telepon. Dan akhir-akhir ini hal itu berbeda. Kamu begitu berbinar, memainkan jemari kamu, memelintir apa yang bisa kamu pelintir di dekatmu, atau memegang-megang apapun yang sebenarnya nggak perlu kamu pegang. Apa kurang cukup?”
“Kamu benar.”
“Jadi? Siapa?”
“Hanna.”
“Wow, sehebat itu ya dia sampe bisa naklukin keangkuhanmu soal cinta?”
“Dee, aku belum tahu akan dibawa ke mana.”
“Maksud kamu?”
“Aku dan dia... adalah teman masa kecil.”
Dina memberikan isyarat tidak mengerti.