DUA HATI

Rizki Ramadhana
Chapter #11

Hanna

"Hai, Re!" suara Hanna terdengar riang saat ia melintas di depan Re yang sedang duduk di kafetaria kantor, sibuk dengan laptopnya. Senyumnya selalu cerah, menyinari ruangan dan membuat suasana terasa lebih ringan.


Re mendongak, dan tanpa bisa menahan diri, bibirnya melengkung membalas senyum itu. "Hai, Hanna. Kamu sudah makan siang?"


Hanna menggeleng, matanya yang cerah berbinar. "Belum. Aku baru saja selesai rapat. Lelah sekali rasanya." Dia menghembuskan napas panjang, lalu menatap menu di kafetaria sebentar sebelum memutuskan untuk memesan sandwich.


Re memperhatikannya tanpa berkata-kata, seperti biasanya. Ada sesuatu tentang Hanna yang selalu membuat Re terdiam sejenak setiap kali melihatnya. Keceriaan yang alami, tidak dibuat-buat, dan cara dia bergerak dengan penuh semangat membuatnya berbeda dari yang lain. Dia selalu terlihat nyaman dengan dirinya sendiri, dan itu memikat Re sejak pertama kali mereka bertemu di salah satu acara perusahaan setahun yang lalu.


Setelah mengambil pesanannya, Hanna duduk di kursi di seberang Re, tanpa merasa canggung meski mereka jarang mengobrol lama di luar urusan pekerjaan. "Apa kabar, Re? Kamu jarang kelihatan akhir-akhir ini. Sibuk, ya?"


Re mengangguk pelan, matanya masih terfokus pada Hanna. "Lumayan. Proyek baru mulai menyita banyak waktu. Kamu sendiri bagaimana?"


"Ah, begitulah," Hanna mengangkat bahu, memotong sandwich-nya sebelum melanjutkan, "Kamu tahu bagaimana departemen kami, kan? Selalu ada hal baru yang harus dikerjakan. Tapi aku nggak keberatan, kok. Seru juga kadang-kadang, meski melelahkan."


Re hanya tersenyum. Ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya berbicara—ringan, tetapi tidak dangkal. Setiap kali dia bersama Hanna, Re merasa dunianya melambat sejenak, seakan semua hal yang rumit di kantornya bisa dikesampingkan hanya dengan percakapan sederhana seperti ini.


Namun, di balik percakapan santai itu, Re menyadari bahwa ada perasaan yang telah lama ia simpan. Perasaan yang tidak pernah ia ungkapkan, meskipun kehadiran Hanna selalu membuatnya tersenyum lebih lebar, membuat harinya terasa lebih cerah. Tapi Hanna? Dia tampaknya tidak menyadari perasaan itu. Bagi Hanna, mungkin Re hanya teman kerja yang kebetulan sering bertemu di kafetaria.


Hanna menyeka mulutnya dengan serbet sebelum kembali berbicara. "Ngomong-ngomong, ada rencana akhir pekan ini?"


Re mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Belum ada. Mungkin hanya istirahat di rumah. Kamu?"


"Aku mau ikut acara lari maraton di taman kota," katanya dengan antusias. "Aku nggak pernah ikut sebelumnya, jadi agak gugup. Tapi aku pikir, kenapa nggak mencoba?"


Re mengangguk. "Kedengarannya menyenangkan. Kamu pasti bisa melakukannya."


"Semoga saja," jawab Hanna, tertawa ringan. "Kamu mau ikut? Mungkin kamu bisa jadi penyemangatku di garis finis."

Lihat selengkapnya