“Re, kamu lagi-lagi melamun?” Suara Dina terdengar tegas di ruangannya saat dia melihat Re yang duduk di sofa dengan pandangan menerawang. Ia sudah menyelesaikan rapat yang melelahkan, namun pikirannya justru tertuju pada satu hal yang bukan pekerjaan.
Re tersentak dari lamunannya, tersenyum kikuk. “Oh, maaf, aku hanya kepikiran beberapa hal.”
“Beberapa hal?” Dina menurunkan kacamatanya sedikit, memandangnya penuh selidik. “Sejak kapan kamu jadi orang yang suka melamun, Re? Biasanya kamu yang paling fokus di ruangan ini.”
Re tertawa kecil, meskipun terlihat jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia menggaruk belakang lehernya sebelum berkata, “Ya, akhir-akhir ini ada yang bikin aku mikir.”
Dina terdiam sejenak, merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Ia mulai menyadari perubahan kecil dalam sikap Re sejak beberapa minggu terakhir. Bukan hanya soal pekerjaan, tetapi lebih kepada bagaimana Re sering melamun atau bahkan senyum-senyum sendiri tanpa alasan jelas. Tapi yang lebih mencolok adalah betapa seringnya Re menyebut nama Hanna dalam percakapan mereka.
“Kamu sering bicara tentang Hanna belakangan ini,” ujar Dina perlahan, mencoba menahan suaranya tetap netral. “Ada apa?”
Re terlihat sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi dia tidak menyangkal. “Ya, mungkin... aku mulai memikirkan dia lebih sering,” jawabnya sambil menunduk, menghindari tatapan Dina.
Ada jeda singkat di antara mereka, keheningan yang tiba-tiba terasa aneh bagi Dina. Biasanya, mereka bisa berbicara dengan santai tentang apa pun, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Dina berusaha menyembunyikan apa yang mulai ia rasakan—sedikit cemburu yang perlahan muncul, meskipun ia belum sepenuhnya memahami kenapa.
Dina menarik napas dalam, mencoba berpikir rasional. Ia tidak ingin melompat pada kesimpulan yang salah atau terlalu memikirkan hal ini. Mungkin perasaan yang muncul hanyalah ketidaknyamanan biasa, karena Re adalah teman dekatnya. Tetapi, di balik rasionalitasnya, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Mengapa ia merasa terganggu setiap kali Re menyebut nama Hanna?
“Aku nggak menyangka kamu punya ketertarikan khusus pada Hanna,” kata Dina akhirnya, sambil menjaga nada suaranya tetap netral.
Re tersenyum canggung. “Ya, aku juga nggak menyangka. Tapi, dia punya sesuatu yang... lain, kamu tahu? Dia selalu ceria, dan sepertinya melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Aku suka caranya melihat hal-hal sederhana jadi menyenangkan.”
Dina menahan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. “Kamu sudah bilang padanya?”