“Kamu terlihat lebih cerah hari ini,” ujar Dina saat melihat Re masuk ke kantin dengan senyum lebar di wajahnya. Ia menoleh dari laptopnya, memerhatikan Re yang berjalan mendekat dengan langkah ringan.
Re tertawa kecil, lalu duduk di seberang Dina. “Mungkin karena hari ini cuacanya bagus,” jawabnya, meski ia tahu ada alasan lain di balik perasaan bahagianya. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Hanna—senyumnya, tawanya, dan percakapan hangat mereka yang semakin intens setiap harinya.
Dina memandang Re dengan tatapan tajam, seolah mencoba membaca pikirannya. “Serius, Re. Kamu akhir-akhir ini sering tersenyum sendiri. Apa ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?”
Re menggaruk kepalanya, sedikit gugup. “Ah, mungkin… mungkin aku memang sedang merasa lebih baik saja.” Ia menunduk, tidak ingin memberikan terlalu banyak detail kepada Dina. Meskipun mereka sahabat, Re masih belum siap menceritakan semuanya tentang perasaannya terhadap Hanna.
“Kamu ini aneh,” kata Dina sambil tertawa pelan. “Tapi kalau itu membuatmu bahagia, aku ikut senang.”
Re tersenyum lagi, namun tidak berkata apa-apa. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus berbicara dengan Hanna. Perasaan yang selama ini ia pendam semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali mereka bersama, Re merasakan kedekatan yang berbeda. Ia tidak bisa terus membiarkan perasaan itu tanpa kejelasan.
***
Sore itu, Re memutuskan untuk mengajak Hanna bertemu di kafe yang sama tempat mereka makan siang sebelumnya. Di dalam hatinya, ia sudah bertekad untuk menyatakan perasaannya. Meskipun ada rasa takut akan penolakan, ia tidak bisa lagi menahan perasaan ini. Re merasa, jika tidak berbicara sekarang, ia akan terus dibayangi ketidakpastian.
“Kamu terlihat serius hari ini,” Hanna membuka percakapan ketika mereka sudah duduk di meja kafe yang tenang. Senyum cerahnya masih sama seperti biasa, tetapi matanya menatap Re dengan rasa ingin tahu.
Re menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya berbicara. “Hanna, aku… sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
Hanna mengerutkan kening, duduk lebih tegak. “Apa itu, Re? Kamu terdengar seperti mau mengatakan sesuatu yang penting.”
Re menatap Hanna, mengumpulkan keberanian yang tersisa. “Aku… aku sudah lama merasa ini. Tapi aku nggak pernah tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya.” Dia berhenti sejenak, melihat reaksi Hanna yang masih tenang, meski sedikit bingung. “Aku suka sama kamu, Hanna. Aku nggak bisa terus menyimpan ini sendirian.”
Keheningan menyelimuti mereka sesaat. Hanna terdiam, matanya membesar karena terkejut. Dia tidak langsung merespons, seolah mencoba mencerna kata-kata Re dengan perlahan. Re menunggu dengan jantung yang berdebar cepat, takut bahwa mungkin saja dia baru saja menghancurkan segalanya.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya bagi Re, Hanna akhirnya membuka mulutnya. “Kamu… kamu serius?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar.