DUA HATI

Rizki Ramadhana
Chapter #15

Pertentangan Keluarga

“Kamu serius, Re?” Suara ayahnya terdengar tajam di seberang meja makan. Re bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di ruangan itu. Mereka sedang makan malam bersama di rumah orang tuanya, sesuatu yang jarang terjadi karena kesibukan Re. Namun, malam ini berbeda—ayahnya, yang biasanya santai, tampak serius.


“Iya, Ayah. Aku serius dengan Hanna,” jawab Re, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.


Ibunya, yang duduk di samping ayahnya, hanya menatap piringnya, tidak berkata apa-apa. Tetapi Re tahu, keheningan itu justru lebih berbicara. Mereka tidak setuju. Dia bisa merasakannya sejak awal ketika pertama kali menyebut nama Hanna di depan mereka. Dan sekarang, ketika dia mulai berbicara lebih banyak tentang hubungan mereka, reaksi ini tidak terlalu mengejutkan.


“Kamu tahu bahwa dia berbeda, kan?” Ayahnya melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih dalam. “Dia bukan dari latar belakang yang sama dengan kita. Kamu paham apa artinya, bukan?”


Re menundukkan kepalanya sejenak, lalu mengangguk. “Aku tahu, Ayah. Tapi Hanna orang yang baik. Dia menghormati perbedaan kita.”


Ayahnya mendesah panjang, meletakkan sendoknya dengan pelan di atas piring. “Ini bukan hanya soal baik atau tidak baik, Re. Ini tentang prinsip. Kamu tahu bahwa keluarga kita punya nilai-nilai yang kuat. Bagaimana kamu bisa menjalani hubungan yang berbeda seperti itu?”


Re terdiam, berusaha memikirkan jawaban yang tepat. Sejak kecil, ia dibesarkan dengan keyakinan yang kuat dan nilai-nilai keluarga yang mendalam. Ia memahami betapa pentingnya hal itu bagi keluarganya. Tapi sejak bertemu Hanna, perasaannya berubah. Ia melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas, bahwa perbedaan tidak selalu harus menjadi penghalang.


“Ibu, bagaimana menurut Ibu?” tanya Re, berharap ibunya akan memberinya dukungan.


Ibunya menatapnya dengan tatapan lembut, tetapi penuh keprihatinan. “Re, Ibu tahu kamu sudah dewasa dan bisa membuat keputusan sendiri. Tapi hubungan seperti ini tidak mudah. Kamu harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk masa depan kalian berdua. Apa kamu yakin bisa menghadapinya?”


Re menarik napas panjang, berusaha meredakan kegelisahan di dadanya. “Aku yakin, Bu. Aku yakin dengan Hanna. Kami belum membicarakan banyak tentang masa depan, tapi aku tahu dia orang yang tepat untukku.”


Ayahnya menggelengkan kepala pelan, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kamu terlalu naif, Re. Perbedaan ini bisa menjadi sumber masalah besar. Kamu mungkin tidak melihatnya sekarang, tapi nanti, saat hubungan ini semakin serius, kamu akan mulai merasakan tekanannya.”


Re tidak bisa menjawab dengan cepat. Kata-kata ayahnya membebani pikirannya. Memang, dia dan Hanna belum terlalu dalam membicarakan masalah perbedaan agama. Mereka masih dalam tahap menikmati hubungan mereka, saling mengenal satu sama lain. Namun, sekarang, perasaan itu mulai berubah menjadi tekanan yang nyata.


***


Malam itu, setelah makan malam berakhir dengan perasaan campur aduk, Re duduk di kamarnya, merenungkan semuanya. Pikirannya terus berputar, kembali ke percakapan dengan orang tuanya. Ia tahu, ini bukan pertama kali keluarganya menunjukkan ketidaksetujuan, tetapi kali ini terasa lebih nyata.


Ponselnya berdering, dan ketika dia melihat nama Hanna di layar, hatinya terasa lebih ringan. Dia segera mengangkat teleponnya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Lihat selengkapnya