“Hanna, kamu sudah memikirkan tentang liburan kita nanti?” Re bertanya dengan nada sedikit datar, berbeda dari biasanya. Mereka sedang duduk di café yang sama di mana banyak percakapan penting mereka dimulai. Namun, hari ini, suasana terasa berbeda, seolah ada jarak yang tak terlihat di antara mereka.
Hanna menatap Re, menyadari perubahan dalam suaranya. “Aku sudah memikirkan beberapa tempat. Kita bisa pergi ke Bali atau mungkin ke luar negeri, seperti Jepang. Bagaimana menurutmu?”
Re tersenyum tipis, tetapi tidak segera menanggapi. Hanna merasa ada sesuatu yang tidak beres. Biasanya, Re akan lebih antusias dalam merencanakan hal-hal seperti ini, tetapi hari ini dia tampak ragu. Ada sesuatu yang mengganjal, dan Hanna bisa merasakannya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Hanna pelan, khawatir dengan sikap Re yang terlihat canggung.
Re menunduk sejenak, memainkan sendok kopinya dengan gelisah. “Aku baik, hanya... ada beberapa hal yang aku pikirkan akhir-akhir ini.”
Hanna mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata Re. “Apa itu? Kamu bisa cerita, Re. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, aku ingin tahu.”
Re menarik napas panjang, kemudian menatap Hanna dengan mata yang penuh keraguan. “Hanna, aku merasa kita perlu membicarakan sesuatu yang lebih serius. Tentang hubungan kita... dan masa depan.”
Hanna terdiam sejenak, hatinya mulai berdebar. “Maksudmu?”
“Aku... aku sadar bahwa kita belum benar-benar membicarakan perbedaan agama di antara kita. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk dibicarakan, dan aku sudah mencoba mengabaikannya. Tapi sekarang, aku tidak bisa berpura-pura lagi bahwa ini bukan masalah,” jawab Re dengan nada berat.
Hanna merasa dunia seakan berhenti sesaat. Dia tahu bahwa hubungan mereka memang memiliki beberapa perbedaan, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa hal itu akan menjadi penghalang. “Kamu serius?” suaranya pelan, seolah mencoba memastikan apa yang baru saja dia dengar.
Re mengangguk, ekspresi wajahnya penuh dengan keraguan. “Aku serius, Hanna. Aku sudah merasakan tekanan dari keluargaku, dan itu membuatku berpikir ulang tentang masa depan kita. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku juga tidak tahu bagaimana kita bisa melewati ini.”
Hanna menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya mulai berputar. Selama ini, dia mengira bahwa mereka berdua bisa menghadapi segala tantangan bersama, termasuk perbedaan ini. Tapi melihat cara Re berbicara, Hanna tahu bahwa masalah ini lebih besar dari yang ia kira.
“Jadi, apa yang kamu inginkan, Re? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hanna akhirnya, suaranya gemetar. Ia berharap ada solusi, sesuatu yang bisa membuat semuanya baik-baik saja.
“Aku tidak tahu,” jawab Re dengan jujur, kepalanya tertunduk. “Aku ingin kita tetap bersama, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa keluargaku tidak akan pernah sepenuhnya menerima kita.”