“Re, kamu nggak apa-apa?” Dina menatap Re dengan mata penuh rasa ingin tahu. Mereka duduk di kantin kantor, tempat yang biasa menjadi saksi obrolan santai mereka. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Re terlihat lebih pendiam dari biasanya, bahkan tatapannya seperti tidak fokus.
Re mengangkat kepalanya perlahan, seolah baru tersadar dari pikirannya. “Hah? Oh, maaf, Dina. Aku cuma kepikiran banyak hal.”
Dina menyipitkan mata, memperhatikan sahabatnya itu. Selama beberapa minggu terakhir, Re memang sering terlihat melamun. Biasanya, dia selalu punya cerita lucu atau komentar ringan yang bisa menghidupkan suasana. Tapi belakangan ini, ada jarak yang semakin terasa di antara mereka, dan Dina mulai merasa kehilangan sesuatu yang dulu sangat akrab.
“Kamu kelihatan lelah,” Dina berusaha memancing agar Re berbicara lebih banyak. “Ada masalah di kantor? Atau mungkin hal lain?”
Re tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak sampai ke matanya. “Bukan soal kantor. Lebih ke... masalah pribadi.”
Dina tahu apa yang dimaksud Re, tetapi ia tetap bertanya, seolah mencoba menahan percakapan agar tetap di jalur yang aman. “Pribadi? Maksudmu... Hanna?”
Re mengangguk pelan. “Iya, soal Hanna. Ada banyak hal yang sedang aku pikirkan tentang hubungan kami.”
Mendengar nama Hanna membuat dada Dina berdesir. Perasaan cemburu yang selama ini berusaha ia tekan mulai menguasainya, meskipun ia tidak menunjukkan apa-apa di wajahnya. Re, yang biasanya begitu dekat dengannya, kini seakan menjauh, terlalu sibuk memikirkan masalah pribadinya dengan Hanna. Dina merasa tersisih, seolah posisinya dalam hidup Re semakin kabur.
“Memangnya ada apa dengan kalian?” Dina mencoba menjaga suaranya tetap datar, meski hatinya mulai bergejolak. “Kamu dan Hanna terlihat baik-baik saja, kan?”
Re menghela napas panjang, menatap cangkir kopinya dengan tatapan kosong. “Sebenarnya nggak sesederhana itu. Aku mulai merasa tertekan dengan perbedaan di antara kami, terutama soal agama. Keluargaku terus menekan, dan aku nggak tahu apakah aku bisa terus bertahan seperti ini.”
Dina mendengarkan dengan seksama, meskipun setiap kata yang keluar dari mulut Re semakin membuatnya merasa sakit. Di satu sisi, ia ingin menjadi sahabat yang baik, yang bisa mendengarkan masalah Re dengan tulus. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan perasaan cemburu yang semakin tumbuh di dalam hatinya.
“Kamu sudah bicara dengan Hanna tentang ini?” tanya Dina akhirnya, mencoba tetap objektif.
Re mengangguk. “Sudah. Kami membahasnya, tapi aku bisa melihat bahwa ini juga mulai memengaruhi dia. Aku nggak ingin membuatnya terluka, Dina. Tapi aku juga nggak tahu harus bagaimana. Aku merasa terjebak di antara keluarga dan perasaanku untuk Hanna.”