"Re, kita perlu bicara serius," suara Hanna terdengar lebih tenang dari biasanya, tapi Re bisa merasakan ketegangan di balik nada lembut itu. Mereka sedang duduk di taman kota, tempat yang sering menjadi tempat pelarian mereka dari hiruk-pikuk kantor. Namun, hari ini suasananya berbeda. Ada sesuatu yang berat di udara, seperti badai yang akan datang.
Re menoleh, menatap Hanna dengan penuh perhatian. "Tentu, Hanna. Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Hanna menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Aku sudah memikirkan banyak hal akhir-akhir ini, terutama soal kita dan perbedaan agama di antara kita.”
Re merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu pembicaraan ini pasti akan datang, tapi sekarang, saat itu benar-benar terjadi, ia merasa sedikit tidak siap. Selama ini, mereka selalu mencoba menghindari topik itu, seolah-olah dengan tidak membicarakannya, masalah itu tidak nyata. Tapi kenyataannya, perbedaan agama di antara mereka sudah mulai memengaruhi segalanya.
"Aku juga sudah memikirkannya, Hanna," jawab Re akhirnya, suaranya terdengar sedikit berat. “Aku tahu ini bukan masalah kecil, dan aku merasa semakin terjebak di antara perasaanku untukmu dan harapan keluargaku.”
Hanna menatap Re, matanya penuh keraguan. "Kamu bilang kamu terjebak, Re. Tapi pertanyaannya, apa kamu akan berjuang untuk kita? Atau kamu hanya akan membiarkan tekanan itu menghancurkan hubungan kita?"
Re terdiam. Kata-kata Hanna menusuknya lebih dalam dari yang ia kira. Pertanyaan itu, meskipun sederhana, membuka pintu ke keraguan yang selama ini ia pendam. Dia memang mencintai Hanna, tapi dia juga mencintai keluarganya. Bagaimana mungkin dia bisa memilih di antara dua hal yang begitu penting?
"Aku nggak ingin kita hancur, Hanna. Aku ingin kita berhasil. Tapi aku juga nggak bisa memungkiri bahwa keluargaku punya harapan yang berbeda tentang pasangan hidupku," jawab Re jujur, meskipun ia tahu jawaban itu mungkin tidak cukup untuk Hanna.
Hanna tersenyum pahit. "Jadi, kamu belum memutuskan apa-apa?"
"Ini bukan soal memutuskan dengan cepat, Hanna. Ini soal memahami bagaimana kita bisa menemukan jalan tengah yang tidak menyakiti siapa pun," balas Re, mencoba menjelaskan perasaannya.
"Re, dengar," Hanna mulai berbicara dengan nada yang lebih tegas, "Aku mencintaimu. Tapi hubungan ini tidak akan bertahan jika kamu sendiri ragu untuk memperjuangkan kita. Kamu bilang kamu ingin menemukan jalan tengah, tapi kadang dalam hidup, kita harus memilih. Dan aku merasa, kamu belum benar-benar memilih."
Re menunduk, merasa terpojok. "Hanna, aku berjuang. Aku sudah berbicara dengan keluargaku. Tapi kamu harus mengerti, mereka tidak mudah diyakinkan."