“Hanna, kamu yakin kita nggak bisa menemukan jalan keluarnya?” tanya Re dengan nada lelah. Mereka duduk di sudut sebuah kafe yang sepi, menikmati segelas kopi yang rasanya lebih pahit dari biasanya. Suasana antara mereka sudah tidak lagi sehangat dulu. Perbedaan agama yang menjadi dinding besar itu semakin menyesakkan, dan hari-hari mereka diwarnai dengan percakapan berat seperti ini.
Hanna menghela napas panjang, menatap cangkir kopinya dengan tatapan kosong. "Aku juga terus berpikir soal itu, Re. Aku ingin sekali menemukan jalan keluar. Tapi aku semakin takut... takut kalau perbedaan ini akan menghancurkan kita, lebih cepat dari yang kita duga."
Re menunduk, merasakan beban kata-kata Hanna. Ia tahu bahwa Hanna mencintainya, tetapi ia juga tahu bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk menyatukan dua dunia yang berbeda ini.
"Apa yang harus kita lakukan, Hanna? Apa kamu sudah punya ide?" tanya Re, suaranya penuh harapan meskipun samar-samar ia tahu jawaban yang akan ia dapatkan.
Hanna terdiam sejenak, seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. “Aku berpikir… mungkin aku bisa bicara dengan keluargaku. Mungkin mereka bisa memberikan pandangan yang lebih terbuka tentang kita.”
Re menatap Hanna dengan kaget. "Bicara dengan keluargamu? Kamu yakin? Keluargamu selama ini belum pernah tahu tentang perbedaan kita, kan?"
Hanna mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada keraguan dalam tatapannya. "Aku memang belum pernah membicarakan perbedaan agama ini secara langsung dengan mereka. Tapi aku mulai merasa, kalau aku tidak bicara, kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa mereka terima atau tidak."
Re masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Hanna. Di satu sisi, ia merasa lega bahwa Hanna bersedia untuk mencoba solusi lain. Tetapi di sisi lain, ia juga takut. Apa yang akan terjadi jika keluarga Hanna memberikan reaksi yang sama seperti keluarganya?
“Kamu nggak takut mereka akan menolak, Hanna?” tanya Re akhirnya, suaranya terdengar pelan, hampir seperti berbisik.
Hanna tersenyum pahit. “Tentu saja aku takut, Re. Keluargaku sangat taat, sama seperti keluargamu. Tapi kalau kita nggak mencoba bicara dengan mereka, kita akan terus terjebak dalam ketidakpastian ini.”
Re mengangguk, memahami kekhawatiran Hanna. Ia juga merasakan hal yang sama setiap kali berpikir tentang keluarganya. Tapi keberanian Hanna untuk mencoba berbicara dengan keluarganya membuatnya terkejut, sekaligus memberikan secercah harapan.
“Kalau begitu, kapan kamu akan bicara dengan mereka?” tanya Re, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu.
“Aku belum tahu,” jawab Hanna sambil memainkan sendok di dalam cangkir kopinya. “Aku masih harus mempersiapkan diri. Aku nggak tahu bagaimana mereka akan bereaksi, dan itu yang paling menakutkan.”
Re bisa melihat ketakutan di mata Hanna, tetapi ia juga bisa melihat keteguhan. Hanna benar-benar berusaha untuk mencari solusi bagi hubungan mereka, dan itu membuat Re merasa sedikit lebih lega. Meskipun tidak ada jaminan bahwa keluarganya akan menerima, setidaknya ada langkah yang bisa mereka coba.