“Re, kamu kelihatan lelah,” kata Dina saat mereka duduk di kantin kantor yang sepi. Hari itu Dina memperhatikan ada sesuatu yang berbeda dari Re. Wajahnya tampak lebih muram dari biasanya, dan matanya seolah kehilangan kilau. Dina tahu bahwa apa pun yang sedang dihadapi Re, itu pasti bukan masalah kecil.
Re hanya mengangguk pelan, tanpa banyak berkata-kata. Ia memandangi cangkir kopinya dengan tatapan kosong, seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. Selama beberapa minggu terakhir, masalah hubungannya dengan Hanna dan tekanan dari keluarganya membuatnya semakin terjebak dalam kebingungan.
“Kamu nggak perlu memendam semuanya sendirian, Re. Kamu bisa cerita padaku,” kata Dina dengan lembut, berusaha membuka percakapan. Ia tahu bahwa Re sedang berada di persimpangan jalan, dan sebagai sahabat, Dina merasa ia perlu memberikan dukungan, meskipun ia sendiri juga menghadapi perasaan yang sulit.
Re akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Dina dengan tatapan lelah. “Aku merasa... terjebak. Di satu sisi, aku mencintai Hanna, tapi di sisi lain, keluargaku terus menekan aku untuk mengakhiri hubungan kami. Aku nggak tahu harus bagaimana, Dina.”
Dina merasakan simpati yang mendalam untuk Re. Meskipun ada perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan dalam hatinya, Dina tahu bahwa ini bukan saatnya untuk memikirkan dirinya sendiri. Re butuh seseorang yang bisa memberinya perspektif netral, dan Dina bertekad untuk menjadi orang itu.
“Kamu merasa terjebak karena kamu mencoba memuaskan dua pihak yang bertolak belakang, Re,” kata Dina hati-hati. “Keluargamu dan Hanna—mereka berada di dua ujung yang berbeda. Tapi yang paling penting, kamu harus tahu apa yang kamu inginkan.”
Re menghela napas panjang, seolah beban yang ia pikul terlalu berat untuk diungkapkan. “Aku tahu, Dina. Tapi itu masalahnya. Aku nggak bisa memilih antara mereka. Keluargaku punya harapan besar untukku, terutama soal pasangan hidup. Mereka ingin aku bersama seseorang yang seiman, dan aku paham kenapa. Tapi di sisi lain, aku mencintai Hanna. Dan aku nggak bisa membayangkan hidup tanpanya.”
Dina tersenyum tipis, meski hatinya terasa sakit mendengar betapa Re mencintai Hanna. “Kamu nggak perlu memutuskan sekarang, Re. Tapi kamu harus mulai jujur pada dirimu sendiri. Kamu ingin mempertahankan hubungan dengan Hanna karena kamu yakin kalian bisa mengatasi ini? Atau kamu hanya bertahan karena takut mengecewakan perasaanmu sendiri?”
Re menatap Dina, merasa bingung. “Aku nggak tahu. Aku selalu merasa bahwa cinta bisa mengatasi segalanya, tapi semakin lama, aku semakin meragukan itu. Keluargaku tidak akan pernah menerima Hanna, dan aku nggak ingin mengecewakan mereka. Tapi di saat yang sama, aku juga nggak ingin menyakiti Hanna dengan menyerah begitu saja.”
Dina mengangguk, mencoba memahami posisi sulit Re. “Re, aku paham betapa beratnya ini buat kamu. Tapi hubungan itu dua arah. Kalau kamu sendiri sudah mulai ragu, kamu harus mempertimbangkan apakah hubungan ini layak diperjuangkan. Hanna mungkin juga merasa terbebani oleh perbedaan ini, sama seperti kamu.”