DUA HATI

Rizki Ramadhana
Chapter #23

Mungkin Ini Jalan Terbaik

“Hanna, kamu baik-baik saja?” tanya salah seorang temannya saat mereka duduk di kafe favorit mereka. Hanna tersentak dari lamunannya dan menatap sahabatnya, Wina, dengan senyuman kecil yang dipaksakan.


“Aku baik,” jawab Hanna, meskipun ia tahu itu tidak benar. Pikiran tentang Re dan jarak yang semakin nyata di antara mereka terus menghantui dirinya. Setiap hari terasa semakin berat, dan setiap pertemuan dengan Re tidak lagi membawa kebahagiaan seperti dulu.


Wina menatap Hanna dengan tatapan penuh rasa prihatin. "Aku tahu ada yang salah, Hanna. Kamu sudah seperti ini selama beberapa minggu terakhir. Apa ini tentang Re?"


Hanna menghela napas panjang, akhirnya meletakkan sendok kopinya dengan pelan. “Ya, ini soal Re. Aku merasa hubungan kami semakin sulit. Perbedaan agama yang dulu terasa seperti masalah kecil, sekarang mulai berubah menjadi tembok besar di antara kami.”


Wina terdiam sejenak, seolah memahami betapa beratnya beban yang sedang ditanggung Hanna. “Apa kamu sudah membicarakan ini dengan Re? Apa dia merasa hal yang sama?”


Hanna menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin jatuh. “Kami sudah membicarakannya, Win. Tapi semakin lama, semakin sulit untuk menemukan solusi. Keluarganya tidak setuju, dan aku merasa Re mulai ragu apakah kami bisa bertahan.”


Wina mengangguk pelan. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah, Hanna. Perbedaan agama memang bisa jadi masalah besar, apalagi kalau keluarganya sudah ikut campur.”


Hanna menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku mencintai Re, Win. Tapi aku juga nggak bisa terus berada dalam hubungan yang penuh dengan ketidakpastian seperti ini. Aku merasa semakin jauh darinya, meskipun kami masih sering bertemu.”


Wina meraih tangan Hanna, menggenggamnya dengan lembut. “Aku bisa lihat betapa berartinya Re buat kamu. Tapi kamu juga harus realistis, Hanna. Kalau kamu merasa hubungan ini nggak bisa dipertahankan lagi, kamu harus mulai memikirkan dirimu sendiri.”


***


Hari-hari berlalu, dan Hanna semakin merasakan jarak yang tumbuh di antara dirinya dan Re. Meskipun mereka masih bertemu dan berbicara, ada sesuatu yang hilang dari hubungan mereka. Percakapan yang dulu selalu dipenuhi dengan tawa kini sering kali diisi dengan keheningan canggung. Perbedaan agama, yang dulu mereka pikir bisa diatasi, kini tampak seperti tembok yang tidak bisa mereka lalui.


Suatu malam, ketika mereka duduk bersama di apartemen Re, Hanna merasa ada sesuatu yang harus ia katakan. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Dia harus jujur, baik pada dirinya sendiri maupun pada Re.

Lihat selengkapnya