“Re, kami sudah memikirkan ini dengan matang,” suara tegas ayahnya terdengar di ruang keluarga yang biasanya menjadi tempat berkumpul yang hangat. Namun, hari ini suasananya berbeda—lebih dingin, lebih kaku. Re duduk dengan gelisah di sofa, merasakan tatapan tajam ayahnya yang menusuk. Ibunya duduk di samping, dengan ekspresi yang tak kalah serius.
“Kamu harus membuat pilihan, Re,” lanjut ayahnya, dengan nada yang tidak bisa ditawar. “Jika kamu terus bersama Hanna, kami tidak akan lagi menganggapmu sebagai bagian dari keluarga ini.”
Kalimat itu seolah menghantam dada Re dengan keras. Ia merasa seperti dunia di sekitarnya tiba-tiba berhenti. Ancaman itu jelas, tidak ada ruang untuk negosiasi. Ia tahu bahwa keluarganya menentang hubungannya dengan Hanna sejak awal, tetapi ia tidak pernah menduga mereka akan sampai pada ultimatum seperti ini.
“Ayah, maksud Ayah… apa?” Re mencoba mencari kata-kata, meskipun pikirannya masih terkejut dengan pernyataan tersebut.
Ayahnya menatap Re dengan mata yang penuh ketegasan. “Ini bukan tentang apa yang Ayah mau, Re. Ini tentang prinsip keluarga kita. Jika kamu melanjutkan hubungan dengan seseorang yang berbeda keyakinan seperti Hanna, kamu tidak lagi menjadi bagian dari keluarga ini. Kami tidak bisa menerima pilihan itu.”
Re merasakan jantungnya berdetak semakin kencang. Selama ini, ia selalu tahu bahwa keluarganya sangat menghargai tradisi dan keyakinan agama mereka. Namun, mendengar ancaman ini langsung dari mulut ayahnya membuat segalanya terasa lebih nyata dan lebih berat dari yang pernah ia bayangkan.
“Ibu, bagaimana menurut Ibu?” Re menoleh pada ibunya, berharap setidaknya ada secercah pengertian di sana.
Ibunya menatapnya dengan tatapan lembut, tetapi penuh kekhawatiran. “Re, Ibu mengerti bahwa kamu mencintai Hanna. Tapi ini bukan hanya soal cinta. Kamu harus memikirkan masa depanmu. Kamu tahu betapa pentingnya keyakinan kita dalam keluarga ini. Ibu tidak ingin melihat keluargamu terpecah karena keputusan ini.”
Re menelan ludah, merasa terpojok. Tidak ada ruang untuk kompromi, tidak ada jalan keluar yang mudah dari situasi ini. Cintanya untuk Hanna begitu besar, tetapi tuntutan keluarganya terlalu kuat. Pilihan yang harus diambil bukan lagi sekadar tentang menjaga hubungan, tetapi tentang mempertahankan identitas dan hubungan dengan keluarganya sendiri.
“Aku nggak bisa membuat keputusan seperti ini dengan cepat,” kata Re akhirnya, suaranya bergetar sedikit. “Aku butuh waktu.”
Ayahnya menggelengkan kepala. “Waktu tidak akan mengubah kenyataan, Re. Keluarga kita tidak bisa menerima perbedaan yang sebesar ini. Kami memberimu waktu, tapi keputusan itu harus dibuat segera.”
***