DUA HATI

Rizki Ramadhana
Chapter #25

Jadi, Bagaimana?

"Hanna, kamu yakin ini yang terbaik?" tanya Re dengan suara pelan, memecah kesunyian di antara mereka. Mereka duduk di taman yang biasanya menjadi tempat favorit mereka untuk berbicara tentang segala hal. Namun, hari ini, suasananya terasa berbeda—lebih dingin, lebih tegang. Keduanya terdiam selama beberapa saat sebelum Hanna menghela napas panjang.


“Aku nggak tahu, Re,” jawab Hanna akhirnya, suaranya lemah. “Tapi aku juga nggak bisa terus membuatmu berada dalam posisi sulit seperti ini. Aku tahu keluargamu penting, dan aku nggak mau jadi alasan kamu kehilangan mereka.”


Re menatap Hanna dengan penuh kesedihan. Kata-kata Hanna benar-benar menusuk hatinya. Ia tahu betapa sulit situasi ini bagi mereka berdua, tetapi ia tidak pernah ingin sampai pada titik di mana mereka harus membicarakan tentang jarak dan waktu.


“Hanna, aku nggak ingin kehilangan kamu,” kata Re dengan nada putus asa. “Aku cuma butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Ini terlalu banyak buat aku, buat kita.”


Hanna mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. Ia telah memberikan Re waktu—bukan karena dia ingin menjauh, tetapi karena ia tidak ingin memaksakan sesuatu yang akan memperburuk situasi. Perbedaan agama yang dulu mereka abaikan kini menjadi dinding besar yang sulit untuk diabaikan, dan tekanan dari keluarga Re semakin memperkeruh segalanya.


“Aku paham, Re. Kamu butuh waktu. Dan aku akan memberi kamu waktu itu,” kata Hanna, meskipun kata-kata itu terasa seperti pecahan kaca yang mengiris hatinya. “Aku nggak mau jadi alasan keluargamu hancur. Aku nggak mau kamu harus memilih antara aku dan mereka.”


Re menunduk, merasa semakin bingung. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah. Di satu sisi, ia tidak ingin kehilangan keluarganya, tetapi di sisi lain, cinta untuk Hanna begitu besar, begitu dalam, hingga ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia.


“Hanna, ini nggak adil buat kita,” gumam Re. “Aku nggak pernah ingin kita berada di situasi seperti ini.”


Hanna tersenyum pahit. “Memang nggak adil, Re. Tapi hidup kadang nggak pernah adil, kan? Kita nggak bisa memilih hal-hal yang kita hadapi. Yang bisa kita lakukan hanya memutuskan bagaimana kita akan menghadapinya.”


Re mengangguk, meski hatinya terasa semakin berat. Hanna benar—mereka tidak bisa mengontrol apa yang terjadi, tetapi mereka harus memutuskan bagaimana menghadapi situasi ini. Dan semakin lama, semakin terasa bahwa keputusan itu tidak akan mudah bagi mereka berdua.


***


Hari-hari berikutnya berlalu dengan keheningan yang semakin menyiksa. Hanna dan Re jarang berbicara, dan ketika mereka bertemu, percakapan mereka terasa dingin dan canggung. Setiap kali Re mencoba membahas hubungan mereka, Hanna selalu menanggapi dengan tenang, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan perasaan tertekannya.

Lihat selengkapnya