"Hanna, aku sudah memikirkannya matang-matang," kata Re dengan suara tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi. Re memegang tangan Hanna, menatapnya dengan penuh keseriusan. Hari itu, ia sudah memutuskan bahwa ia akan berjuang demi cinta mereka, meskipun keluarganya tidak memberikan restu.
Hanna menatap Re, wajahnya dipenuhi keraguan. "Apa maksudmu, Re?"
Re menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegelisahan yang masih tersisa di dalam dirinya. "Aku nggak bisa terus berada di antara keluargaku dan kamu. Aku tahu ini akan sulit, dan aku tahu keluargaku mungkin tidak akan pernah menerima kita. Tapi aku nggak bisa lagi menyerah. Aku mencintaimu, Hanna, dan aku ingin kita tetap bersama, apa pun yang terjadi."
Mendengar pengakuan Re, hati Hanna bergetar. Sudah lama ia menunggu momen ini, di mana Re akhirnya memutuskan untuk memperjuangkan hubungan mereka. Tapi meskipun kata-kata Re terdengar meyakinkan, Hanna merasakan sesuatu yang berbeda di dalam hatinya.
"Re," kata Hanna dengan suara pelan, menunduk sejenak sebelum melanjutkan, "aku menghargai bahwa kamu ingin memperjuangkan kita. Tapi... aku nggak yakin kalau itu cukup."
Re terkejut mendengar kata-kata Hanna. "Apa maksudmu? Aku sudah siap untuk menghadapi apa pun, Hanna. Aku siap menghadapi keluargaku demi kita."
Hanna menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang mulai bercampur aduk. “Aku tahu, Re. Tapi kenyataannya, restu keluargamu sangat penting. Tanpa itu, bagaimana kita bisa melanjutkan hubungan ini? Bagaimana kita bisa membangun masa depan bersama kalau keluargamu tidak pernah bisa menerima aku?”
Re terdiam, menatap Hanna dengan rasa tidak percaya. "Tapi aku mencintaimu, Hanna. Bukankah itu cukup untuk melawan semua ini?"
Hanna menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Cinta saja mungkin tidak cukup, Re. Aku nggak ingin menjadi orang yang menyebabkan kamu terpisah dari keluargamu. Dan aku juga nggak bisa terus berada dalam hubungan yang selalu dibayangi oleh penolakan keluargamu.”
Re menggenggam tangan Hanna lebih erat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri, dan Hanna, bahwa mereka bisa mengatasi ini. “Kita bisa melewatinya, Hanna. Kita bisa menemukan jalan keluar. Aku tahu ini berat, tapi kita punya kekuatan untuk menghadapi ini bersama.”
Hanna menundukkan kepala, merasa semakin sulit untuk berbicara. Air mata mulai menggenang di matanya, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Aku berharap bisa berpikir seperti kamu, Re. Tapi aku realistis. Hubungan ini... mungkin tidak akan pernah berhasil tanpa dukungan keluargamu. Mereka bagian dari hidupmu, bagian dari masa depanmu. Tanpa restu mereka, apa yang akan kita hadapi di masa depan?”