“Hanna, kamu yakin ini keputusan yang ingin kamu ambil?” Re bertanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Mereka duduk di sebuah taman kecil yang sunyi, jauh dari keramaian kota. Pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitar mereka seakan menjadi saksi bisu dari percakapan yang tak terhindarkan ini.
Hanna menunduk, menatap rumput hijau di bawah kakinya. Udara sore yang sejuk terasa menyakitkan di kulitnya, seolah-olah alam ikut merasakan beban berat yang sedang ia pikul. “Aku harus, Re,” jawabnya pelan. “Aku nggak bisa terus seperti ini.”
Re menggeleng pelan, masih berharap ada jalan keluar dari situasi ini. “Tapi kita masih saling mencintai, Hanna. Bukankah itu seharusnya cukup? Bukankah cinta bisa mengatasi segalanya?”
Hanna menutup matanya sejenak, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tahu Re benar—mereka masih saling mencintai. Tapi cinta saja tidak cukup untuk mengatasi semua perbedaan dan tekanan yang selama ini membebani hubungan mereka. “Cinta itu penting, Re, tapi cinta saja nggak bisa membuat semua masalah ini hilang. Aku sudah terlalu lelah dengan semua tekanan ini.”
Re menatap Hanna, matanya penuh dengan harapan yang tersisa. “Kita bisa mencoba lagi, Hanna. Aku bisa bicara lagi dengan keluargaku, mungkin mereka akan berubah pikiran. Aku nggak ingin kehilangan kamu.”
Kata-kata Re menusuk hati Hanna. Ia tahu bahwa Re tulus, tapi ia juga tahu bahwa keluarga Re tidak akan berubah. Restu yang diharapkan itu sepertinya tidak akan pernah datang, dan selama restu itu tidak ada, mereka tidak akan pernah benar-benar bebas dari masalah ini.
“Re, aku sudah memberikanmu waktu,” kata Hanna dengan suara lembut namun tegas. “Dan kamu sudah berusaha. Aku tahu kamu mencintai aku, tapi aku juga tahu keluargamu tidak akan pernah menerima kita. Aku nggak bisa terus berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Aku nggak mau hidup dalam bayang-bayang penolakan keluarga kamu.”
Re terdiam, hatinya serasa runtuh mendengar keputusan Hanna. “Kamu benar-benar ingin mengakhiri ini, Hanna?” tanyanya dengan suara serak. “Meskipun kita masih saling mencintai?”
Hanna mengangguk pelan, meski hatinya terasa sangat sakit. “Aku nggak ingin terus berada dalam hubungan yang membuat aku merasa tertekan setiap hari, Re. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus mencintai diriku sendiri. Dan aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan seperti ini.”
Re mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Selama ini, ia berjuang keras untuk mempertahankan hubungan mereka, berharap bahwa cinta bisa mengatasi segalanya. Tapi sekarang, dengan Hanna yang memutuskan untuk pergi, Re merasa semua usahanya sia-sia.