“Re, kamu masih di sini?” suara Dina terdengar pelan namun jelas di ruang kerja yang kini semakin sunyi. Hari sudah beranjak sore, dan hampir semua rekan kerja mereka sudah pulang. Namun, Re tetap duduk di mejanya, menatap layar komputer tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ada di sana.
Re menoleh perlahan ke arah Dina, senyumnya lemah, hampir tidak terlihat. “Iya, aku masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan,” jawabnya, meski sebenarnya pikirannya tidak ada di tempat kerja. Sejak perpisahan dengan Hanna, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Semua yang ia lakukan terasa hampa, seolah-olah ia hanya menjalani hari-hari tanpa tujuan.
Dina mendekat, duduk di meja Re, menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu kamu sedang nggak baik-baik saja, Re,” kata Dina lembut. “Kamu nggak perlu berpura-pura di depanku.”
Re menghela napas panjang, menundukkan kepala. “Aku mencoba, Dina. Aku mencoba untuk menjalani hari-hariku seperti biasa, tapi semuanya terasa berbeda sekarang. Sejak Hanna pergi, aku merasa seperti kehilangan arah.”
Dina terdiam sejenak, merasakan kepedihan yang terpancar dari kata-kata Re. Ia tahu betapa dalam perasaan Re terhadap Hanna, dan ia bisa melihat bahwa perpisahan itu menghancurkan Re lebih dari yang bisa ia ungkapkan. “Re, nggak ada yang salah kalau kamu merasa hancur setelah ini. Kamu kehilangan seseorang yang sangat penting buat kamu. Tapi kamu juga nggak bisa terus-terusan membiarkan perasaan ini menguasaimu.”
Re mendesah, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. “Aku tahu, Dina. Tapi aku nggak tahu bagaimana caranya bangkit dari ini. Setiap hari rasanya sama saja, penuh dengan ingatan tentang dia. Aku bahkan nggak bisa berjalan melewati kafe tempat kami sering nongkrong tanpa merasa perih.”
Dina menatap Re dengan simpati. “Kamu butuh waktu, Re. Perasaan seperti ini nggak akan hilang dalam semalam. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya.”
Re tersenyum lemah, meski hatinya masih terasa berat. “Mudah diucapkan, Dina. Setiap kali aku mencoba untuk move on, bayangan Hanna selalu muncul. Rasanya semua yang aku lakukan hanya membuat aku semakin ingat padanya.”
***
Hari-hari setelah perpisahan itu berjalan seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi Re. Ia mencoba menjalani rutinitasnya—berangkat kerja, menyelesaikan tugas, bertemu teman-teman—tapi tidak ada yang terasa sama. Kesehariannya dipenuhi dengan kehampaan, dan meskipun ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, pikirannya selalu kembali kepada Hanna.
Setiap tempat yang mereka pernah kunjungi bersama sekarang terasa berbeda. Jalan-jalan yang dulu penuh tawa kini terasa sepi, kafe yang dulu menjadi tempat favorit mereka kini hanya menjadi pengingat luka. Re merasa setiap sudut kota ini dipenuhi dengan bayangan masa lalunya bersama Hanna, dan ia tidak bisa menghindarinya.
Suatu sore, ketika Re berjalan pulang dari kantor, ia melewati kafe tempat biasa mereka bertemu. Tanpa disadari, langkah kakinya terhenti di depan jendela kafe, menatap meja yang dulu selalu mereka tempati. Di sana, ia bisa membayangkan Hanna duduk, tersenyum sambil menyesap kopinya. Namun, sekarang, yang tersisa hanya kehampaan.
“Aku harus berhenti seperti ini,” bisik Re pada dirinya sendiri, mencoba untuk melangkah pergi. Tapi hatinya terasa terlalu berat. Ia berdiri di sana selama beberapa menit, membiarkan kenangan itu menghantuinya.
***
Malam itu, Re kembali ke apartemennya, melemparkan tas kerjanya ke sofa, dan langsung berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam yang gelap, merasakan kehampaan yang tak kunjung hilang. “Kenapa rasanya sesulit ini?” gumamnya, berbicara kepada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa perpisahan dengan Hanna adalah keputusan yang tepat, tetapi mengetahui hal itu tidak membuat hatinya terasa lebih baik.
Suara getaran ponsel di meja membuatnya tersadar dari lamunannya. Re mengambil ponselnya dan melihat ada pesan dari Dina: *“Aku tahu kamu butuh waktu sendiri, tapi kalau kamu butuh teman ngobrol, aku ada di sini.”*
Re tersenyum kecil. Dina selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat terburuknya. Meskipun Re tahu bahwa Dina mungkin memiliki perasaan lebih dari sekadar sahabat, ia belum siap untuk memikirkan hal itu. Hatinya masih terlalu terjebak pada Hanna, pada hubungan yang sudah berakhir.
Re mengetik balasan singkat: *“Terima kasih, Dina. Aku mungkin butuh waktu lebih lama, tapi aku menghargai keberadaanmu.”*
Setelah mengirim pesan itu, Re kembali duduk di sofa, menatap langit-langit apartemennya yang kosong. “Bagaimana aku bisa menjalani hidup normal lagi setelah semua ini?” pikirnya. Setiap hari terasa seperti perjuangan berat hanya untuk melewati hari tanpa merasa terpuruk. Dan meskipun ia mencoba mencari pelarian dalam pekerjaan, dalam pertemanan, ia tahu bahwa hatinya masih terlalu terikat pada Hanna.
***
Keesokan harinya di kantor, Re mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus-menerus terganggu oleh perasaan kehilangan yang mendalam. Ia mencoba mengikuti rapat, menulis laporan, tetapi tidak ada yang terasa benar. Setiap detik terasa seperti beban yang harus ia tanggung, dan ia mulai merasa lelah secara emosional.
Saat makan siang, Dina datang menghampirinya lagi. “Re, kamu perlu istirahat. Kita keluar sebentar, mungkin jalan-jalan bisa membantu.”
Re menggeleng, mencoba tersenyum, meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya. “Aku nggak yakin jalan-jalan akan membantu, Dina. Rasanya semua yang aku lakukan hanya membuatku semakin teringat padanya.”