“Re, kamu sudah cek laporan terakhir dari tim?” tanya Dina sambil meletakkan setumpuk dokumen di meja Re. Suasana kantor hari itu sedikit lebih sibuk dari biasanya. Proyek besar yang mereka tangani sedang mendekati tenggat waktu, dan semua orang berusaha untuk menyelesaikan bagian mereka dengan tepat waktu.
Re menatap dokumen itu dengan mata lelah. “Sudah, tapi aku masih merasa ada beberapa hal yang perlu diperbaiki di bagian anggaran. Tim keuangan belum sinkron dengan jadwal produksi.”
Dina tersenyum tipis, menyandarkan tubuhnya ke kursi di depan meja Re. “Kita bisa perbaiki bersama. Aku punya waktu sore ini, kalau kamu mau.”
Re mengangguk, merasa lega. “Terima kasih, Dina. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Proyek ini sudah menyita seluruh waktuku, rasanya nggak ada habisnya.”
Dina menatap Re dengan penuh perhatian, melihat raut wajah lelah yang terpancar dari matanya. Meskipun Re selalu terlihat tenang, Dina tahu bahwa beban pekerjaan, ditambah perasaan yang belum sepenuhnya sembuh dari perpisahan dengan Hanna, masih mengganggu pikiran Re. Setiap hari, ia mencoba mendekat, memberinya dukungan, dan perlahan, Dina mulai memberikan sinyal tentang perasaannya.
“Kamu nggak sendirian, Re. Aku ada di sini, kita bisa selesaikan semuanya bareng-bareng,” kata Dina dengan nada lembut, matanya bertemu dengan tatapan Re.
Re tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak menyembunyikan rasa terima kasih yang dalam. “Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik.”
***
Sore itu, mereka bekerja bersama di ruang rapat yang lebih tenang. Dina duduk di samping Re, memberikan pendapatnya tentang anggaran dan mengoreksi beberapa bagian yang tampak kurang tepat. Sambil bekerja, Dina menyadari bahwa semakin lama ia menghabiskan waktu dengan Re, semakin sulit baginya untuk menyembunyikan perasaannya. Setiap kali Re berbicara, setiap kali Re tersenyum ke arahnya, Dina merasakan hatinya berdegup lebih kencang.
“Bagaimana menurutmu kalau kita tambahkan waktu ekstra untuk evaluasi di akhir proyek?” tanya Re, memecah fokus Dina yang sempat melayang.
Dina menatap Re, sejenak terdiam sebelum menjawab, “Itu ide bagus. Dengan begitu, kita bisa mengatasi masalah yang mungkin muncul sebelum proyek benar-benar selesai.”
Re mengangguk setuju, menandai catatannya. “Aku setuju. Kita bisa masukkan itu di revisi laporan besok.”
Dina tersenyum, merasa bahwa bekerja bersama Re selalu memberikan rasa nyaman. Ia ingin lebih dari ini—bukan hanya sekadar rekan kerja atau sahabat. Setiap kali Re mengandalkan dirinya, setiap kali mereka bekerja bersama, Dina merasa bahwa perasaannya semakin sulit untuk diabaikan. Tapi ia juga tahu bahwa Re mungkin masih belum siap untuk menerima perasaan itu, apalagi setelah perpisahannya dengan Hanna.
“Re,” panggil Dina tiba-tiba, suaranya lebih lembut dari biasanya.