“Apakah ini akhirnya?” Re bergumam pelan, menatap secangkir kopi di depannya. Pikiran tentang pertemuannya dengan Hanna terus bergelayut dalam benaknya. Meskipun mereka telah berbicara dan saling mengungkapkan perasaan masing-masing, ada perasaan pahit yang tidak bisa hilang begitu saja. Cinta yang selama ini ia simpan untuk Hanna terasa seperti tali yang perlahan-lahan mulai terurai, meskipun rasa sakitnya masih menghantui.
Re menyandarkan tubuhnya ke kursi, menarik napas panjang. Ia tahu bahwa cintanya untuk Hanna tidak akan pernah sepenuhnya hilang, tetapi ia juga sadar bahwa perbedaan di antara mereka terlalu besar. Mereka telah mencoba, berulang kali, dan selalu kembali ke titik yang sama—sebuah tembok yang tidak bisa mereka lewati.
“Perbedaan agama itu seperti dinding yang tidak bisa dihancurkan,” bisik Re kepada dirinya sendiri. Selama ini, ia berharap bahwa cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi semua rintangan. Namun, semakin ia mencoba, semakin ia menyadari bahwa cinta saja tidak cukup.
Setelah pertemuan terakhir dengan Hanna, Re merasa bahwa inilah waktunya untuk benar-benar melepaskan. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu yang tidak akan pernah terwujud. Di saat yang sama, ia mulai memikirkan Dina—seseorang yang selalu ada di sampingnya, mendukungnya tanpa syarat, meskipun ia sendiri masih ragu dengan perasaannya.
Beberapa hari kemudian.
Sebuah pagi yang biasa di Kota Bandung. Re menyeduh tehnya. Tidak ada telepon, tidak ada getaran Whatsapp. Ia juga tidak tertarik untuk membuka ponselnya. Hanya beberapa surat elektronik yang diperiksanya. Setelah mandi dan sarapan, ia pun melaju ke kantor dalam diam.
Dimasukinya ruang kerjanya dan mulai tenggelam dalam kesibukannya. Cukup lama ia menekuni komputernya hingga sang sekretaris datang. Dipesankannya bahwa hari ini ia tidak ingin menerima tamu. Sekretarisnya mengangguk.
Setelahnya, ruangan itu dikunci dari dalam.
Berjam-jam lamanya, pintu itu baru terbuka lagi. Re hanya punya satu tujuan: makan siang. Ia berjalan menunduk memasuki lift menuju tempat parkir. Dibalasnya sapaan orang-orang dengan senyum. Sekilas tidak ada yang berbeda dari dirinya. Hanya saja ia tidak berkata sepatah kata pun. Hanya menuju mobilnya dan keluar kantor.
Ia memilih restoran yang berbeda dari biasanya. Siang ini Re sama sekali tidak peduli akan rasa. Baginya yang penting hanya kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Ia makan dan minum sambil memperhatikan sekeliling. Namun jiwanya tidak di sana.
Terbukti ia tidak menyadari kedatangan seorang perempuan yang mendekati mejanya. Padahal perempuan itu menarik mata banyak orang saat ia memasuki restoran.
“Ini hal yang baru.” Kata perempuan itu saat berdiri di depannya.
Re tersenyum.
“Kamu ngikutin aku?”
“Ya. Terutama setelah kamu ngelewatin aku gitu aja di pintu lift tempat parkir.”
“Hah? Masak sih?”
“Hmhm.”
“Aduh, maaf ya. Aku bener-bener nggak lihat.”
Dina menarik kursi, memanggil pelayan, lalu memesan salad dan minuman.
“Dee...” Re menghembuskan nafasnya keras-keras.
“Nggak perlu kamu ceritain, aku udah bisa ngebacanya. Aku kenal kamu bukan baru kemarin.”
Re tersenyum.
“Kira-kira kamu bisa nebak sejauh apa?”
“Nggak susah. Perbedaan kalian bikin aku yakin, suatu saat ini pasti terjadi.”
“Iya sih. Aku nggak apa-apa.”