“Re, gini deh. Sekarang kita pergi kemana, terserah kamu. Kamu lupakan semuanya. Besok kan mulai long weekend, pokoknya kemanapun kamu mau. Aku setirin deh!”
“Hahaha, nggak perlu sampai segitunya kalik. Nyetir doang sih aku masih bisa.”
“Nah, gitu dong! Ini pertama kalinya aku lihat kamu tertawa sejak seabad lalu.”
Re kembali tertawa.
“Oke, besok jam tujuh aku kesini ya. Kamu jangan telat bangun.”
“Oke, boss!”
Dina melambai sambil tersenyum. Re melepas kepergian perempuan itu sampai masuk lift. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Kamu benar, Dee. Aku nggak bisa begini. Aku hanya menyakiti diri aku sendiri.” Katanya pada diri sendiri.
Esok paginya Dina datang tepat jam tujuh. Re sudah menunggunya di depan pintu.
“Jadi, mau kemana?” Dina tersenyum.
“Ke pedesaan yuk, biar nggak macet.”
Mereka menghabiskan long weekend itu dengan menjelajah sana-sini.
Setelah kembali, Re mengantar Dina sampai rumahnya.
“Welcome back, Re.”
“Thanks Dee. I really appreciate it.”
“Besok hari baru. Kembalilah seperti dulu, menjadi Re yang kukenal.”
“Kamu selalu mengenalku, Dee.”
Dina tersenyum, lalu pamit pulang.
***
Esok harinya adalah benar-benar hari yang baru. Re kembali menjadi sosoknya sebelum ditinggal Hanna. Rapat-rapat yang panjang ia jalani dengan ketajamannya yang dulu. Dina mencuri intip ke kantor Re.
Dia telah kembali, Saint Elia.
***
Dina memandangi pemuda itu datang. Re menyalami semua orang di kantornya dan dengan senyum yang lebih cerah dari sebelumnya. Ia berlaku hangat seperti tidak ada yang terjadi sebelum ini.
Ia benar-benar telah kembali.
“Hai, selamat pagi!” sapa Re ketika melihat Dina di depan pintunya.
“Hai, apa kabar?”
“Aku bangun pagi sekali hari ini.”
“Subuh? Ya memang kamu terlihat semangat sekali hari ini.”
“Sudah ada rencana makan siang?”
“Hmmm, belum. Mau bareng?”
“Saya mau coba restoran Jepang di blok 4 sana, kamu mau?”
“Boleh, siang ini ya?”
“Nanti kujemput ke ruanganmu.”
“Oke, sampai nanti.”
“Sampai nanti.”
Re tak bisa berhenti tersenyum pagi itu. Begitupun dengan Dina. Kehangatan itu telah kembali, dan seperti itulah yang mereka inginkan.
***
Bento di depannya sudah licin tandas. Namun Re masih memainkan sumpitnya. Ia ingin bisa memasak seperti ini, seenak ini. Ia ingin menekuni ilmu memasak yang selama ini tidak pernah disentuhnya.