“Kamu serius, Dee?” Re bertanya dengan nada terkejut, menatap Dina yang duduk di seberangnya di meja makan. Wajahnya tampak penuh kebingungan, tidak percaya pada apa yang baru saja didengar. Mereka sedang menikmati makan malam ketika Dina tiba-tiba menyampaikan berita besar: sebuah tawaran promosi ke luar negeri.
Dina mengangguk perlahan, matanya menatap Re dengan ragu-ragu. “Ya, Re. Aku baru saja diberitahu tadi pagi. Mereka menawarkan aku posisi manajerial di cabang luar negeri, dan… jujur, ini kesempatan besar buat karierku.”
Re terdiam, menelan makanan yang tiba-tiba terasa hambar. Pikirannya berputar, mencoba mencerna berita ini. Dina, wanita yang selama ini selalu di sisinya, mungkin akan pergi ke luar negeri untuk waktu yang tidak sebentar. “Berapa lama kamu akan pergi, Din?”
Dina menarik napas panjang sebelum menjawab. “Setidaknya dua tahun, Re. Mungkin lebih, tergantung bagaimana proyek berjalan.”
Keheningan menyelimuti mereka. Suasana yang tadinya nyaman berubah menjadi penuh ketidakpastian. Re tahu bahwa Dina telah bekerja keras untuk mencapai titik ini dalam kariernya, dan promosi ini adalah sesuatu yang layak ia dapatkan. Tapi di sisi lain, Re tidak bisa mengabaikan perasaan takut yang perlahan-lahan merayap ke dalam hatinya. Bagaimana jika hubungan mereka tidak bisa bertahan dengan jarak yang begitu jauh?
“Dua tahun… itu waktu yang lama, Dee,” ujar Re pelan, mencoba menutupi kegelisahannya.
Dina menatap piringnya, tidak berani menatap Re. “Aku tahu, Re. Aku juga nggak pernah berpikir akan mendapat tawaran seperti ini. Tapi ini adalah kesempatan yang mungkin nggak akan datang lagi.”
Re memahami dilema yang dihadapi Dina. Karier adalah hal penting bagi mereka berdua, dan Re sendiri selalu mendorong Dina untuk terus berkembang. Namun, sekarang, ketika kesempatan besar itu benar-benar datang, Re merasa seperti mereka berada di persimpangan jalan.
“Apa yang kamu pikirkan tentang kita?” tanya Re akhirnya, mencoba untuk mengumpulkan keberanian untuk menanyakan pertanyaan yang sudah membebani pikirannya sejak mendengar berita itu.
Dina terdiam sejenak, lalu menghela napas pelan. “Itulah yang aku khawatirkan, Re. Aku nggak tahu apakah kita bisa menjalani hubungan jarak jauh. Aku nggak mau kita merusak apa yang kita punya sekarang.”
Re merasa dadanya sesak. Selama ini, mereka telah membangun hubungan yang begitu kuat, namun sekarang semuanya tampak goyah hanya karena jarak. “Tapi kalau kamu nggak menerima tawaran ini, bukankah kamu akan menyesal?”
Dina menggigit bibirnya, merasa terjebak dalam dilema. “Aku nggak tahu, Re. Aku mencintai kamu, dan aku nggak ingin kehilangan kamu. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan besar yang mungkin nggak akan datang lagi.”
Re mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa ia harus mendukung Dina, apapun keputusannya. Tapi bagaimana dengan mereka? Bisakah hubungan mereka bertahan dalam kondisi seperti ini?
***