Lagi-lagi mimpi yang sama, begitu nyata hingga rasanya seperti nyata, dan setiap kali ia terbangun, perasaan sakit itu terasa mengakar di dadanya. Malam ini, sudah berkali-kali mimpi itu datang. Dalam mimpinya, Re berdiri di sebuah padang rumput yang luas, hijaunya membentang sejauh mata memandang. Namun, keanehan yang melingkupi mimpi ini segera menarik perhatiannya. Matahari dan rembulan tampak di langit bersama, keduanya bersinar terang dan menyilaukan, melawan logika alam. Cahaya itu menyilaukan, seolah-olah keduanya bersekongkol untuk membungkus padang rumput dalam sinar yang menyilaukan.
“Apa-apaan ini?” Re bergumam, bingung. Namun sebelum ia bisa memproses lebih jauh, padang rumput yang indah itu lenyap, berganti dengan hamparan pasir yang panas membara. Re kini berada di padang pasir yang luas, dengan matahari yang menggantung tepat di atas kepala, memancarkan panasnya yang luar biasa. Ia terduduk di pasir, wajahnya menengadah ke arah matahari yang tak tertahankan, menguras setiap tenaga yang tersisa dalam tubuhnya. Rasa panas merambat dari ujung kaki hingga kepalanya, hingga ia merasa seperti hendak terbakar.
Ingin sekali ia berteriak, tetapi mulutnya seolah terkunci. Hanya gemetar yang ia rasakan, ketakutan yang aneh namun nyata. Di tengah rasa cemas yang memuncak, tiba-tiba pemandangan kembali berubah. Kini ia berada di sebuah pelabuhan, pelabuhan yang asing, sunyi, tanpa suara deburan ombak, tanpa kapal, dan hanya dermaga yang meluas ke arah laut yang gelap. Hati Re kembali berdebar saat ia menyadari bahwa di ujung dermaga tersebut, sosok seseorang berdiri membelakangi dirinya. Sosok itu tidak lain adalah Dina.
“Dina!” Ia ingin memanggilnya, namun suara itu tak kunjung keluar. Tubuhnya terpaku, kakinya tak dapat melangkah. Ia hanya mampu menyaksikan Dina yang berdiri sendirian, punggungnya menghadap Re, tampak begitu hampa, seperti menyatu dengan keheningan di sekelilingnya.
Namun, sebelum Re dapat mencapai Dina, lingkungan di sekitarnya kembali berubah. Ia kini berada di sebuah pantai yang sunyi. Pasir putih terhampar, dan suara ombak menghantam tepi pantai terdengar samar-samar. Di sana, seorang perempuan duduk berselonjor di pasir. Wajahnya tertunduk, dan di tangannya ia memegang sebuah anak panah dengan ujung yang tajam, bersiap untuk ditancapkan pada benda yang ia pegang di tangan satunya—sebuah benda berbentuk delima yang tampak seperti kristal merah menyala.
Re merasa tenggorokannya tercekat. “Siapa kamu?” ia ingin bertanya, namun kata-kata itu tak juga keluar. Perempuan itu terus menatap delima di tangannya, seolah-olah benda itu adalah sesuatu yang sangat berharga, atau sesuatu yang sangat mematikan. Jantung Re berdebar semakin kencang, tetapi ia tak bisa bergerak mendekat, seolah-olah suatu kekuatan tak terlihat mengikat tubuhnya di tempat.
Sekonyong-konyong, perempuan itu perlahan-lahan menoleh ke arah Re. Wajahnya pucat, matanya kosong, tetapi ada sesuatu yang familiar dalam tatapannya. Hanya sekejap mata mereka bertemu, namun Re tahu bahwa tatapan itu penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan. Lalu, perempuan itu mengangkat anak panahnya lebih tinggi, menatap delima di tangannya dengan intens, dan sebelum Re bisa melakukan apa pun, perempuan itu mengayunkan anak panahnya dengan gerakan tajam.
Re tersentak, jantungnya berdetak cepat saat ia membuka matanya. Tubuhnya bersimbah keringat dingin, dadanya naik turun karena napas yang terengah-engah. Seperti mimpi buruk lainnya, kali ini pun ia terbangun dengan tubuh bergetar dan perasaan yang kacau.
“Apa lagi ini, apa lagi?” gumamnya, berusaha menenangkan diri sambil memegang dadanya. Napasnya berat, dan ia merasa linglung, berusaha mengingat setiap detail dari mimpi itu. Cahaya bulan dan matahari bersama, panasnya padang pasir, dermaga kosong, sosok Dina, dan perempuan dengan delima. Semua terasa seperti teka-teki yang memanggil untuk dipecahkan, tetapi tak satu pun dari petunjuk itu yang terasa masuk akal.